“Saya ingin menulis satu buku sebulan saja.”
Manusia memang fitrahnya selalu ingin instan. Kalau ada cara cepat untuk menuju kepada keberhasilan maka itu mungkin menjadi alternatif utama.
Imam Bukhari menulis kitab Sahih-nya selama
15 tahun kadang di bawah bulan purnama. Keren kan?
Belum lagi Imam Muslim menulis kitab Shahih-nya memakan waktu 20 tahun. Kemudian muridnya selesai talaqqi membacakan kitab Shahih Muslim di depan gurunya selama 20 tahun juga. Sesaat sebelum wafatnya sang guru.
Minhajul Qosidin ditulis selama 25 tahun.
Kita nih maunya cepat-cepat menulis. Menulis itu tak sekedar memindahkan kata dalam makna, tetapi juga bagaimana mentransfer ruh dari tulisan.
Butuh proses yang panjang untuk sebuah kata dalam tulisan. Jangan sampai anda menulis dengan begitu cepatnya karena hendak mencicipi sebagian kenikmatan dunia, lantaran tulisan anda sekali baca lalu ditinggalkan.
Habis manis sepah dibuang. Bagaimana perhatian anda menulis sebegitupula perhatian orang lain membaca tulisan anda. Kalau memang dasarnya tulisan karbit, yakin beberapa kali saja tulisan anda akan ditinggalkan. Hanya sebatas sekali konsumsi.
Satu kali menulis tidak bisa langsung jadi layak dibaca, namun masih perlu tahap pengeditan.
Betapa banyak buku hari ini begitu cepat bestseller. Namun beberapa tahun saja ia sudah ditinggalkan, selesai sudah!
Tapi lihatlah buku-buku para ulama, bertahun-tahun yang lalu tetapi senantiasa dibaca sampai hari ini, menjadi rujukan utama.
Kenapa tulisan perkataan para salaf sangat menyentuh?
Karena mereka tidaklah berkata dan menulis kecuali untuk kejayaan ummat islam. Bukan keinginan syahwat pribadi. Namun bukan juga berarti menulis bukunya bertahun-tahun, kalau memang bisa diselesaikan dalam waktu yang singkat.
Seperti al-Aqidah al-Washatiyyah ditulis oleh Ibnu Taimiyyah rentang waktu magrib-isya. Ketika khalifah menanyakan akan aqidah ahlusunnah wal jama’ah. Ia kemudian menjawabnya dengan sebuah buku.
Menulis tidak musti membutuhkan waktu yang begitu lama bertahun-tahun. Bukan masalah cepat tidaknya tulisan selesai. Namun bagaimana waktu kita berberkah ketika menulis!
Fasilitas
Ini juga tidak sedikit melanda penulis baru.
“Saya baru mau menulis kalau sudah ada laptop, saya tidak punya tablet.”
“Belum bisa menulis karena buku lagi habis, nggak ada internet.”
Saat kita sudah bergantung dengan fasilitas, inilah sebenarnya yang mematikan ide seorang penulis.
“Ketika engkau kekurangan tinta, itu hal yang biasa, saat kamu kehabisan kertas, itu belum apa-apa,
Namun, saat kita kehilangan ide, cita-cita dan semangat maka sungguh kamu telah kehilangan segalanya.”
Yup jangan bergantung dengan fasilitas!
Imam as-Syafi’i kadang menulis di tulang-tulang karena kehabisan kertas. Kalau kita menelaah lebih jauh lagi, tidak sedikit ulama yang kita dapati menulis dengan serba kekurangan.
Lihatlah mereka kadang menulis tengah padang pasir di bawah sinarnya lampu bulan purnama!
Zaman itu belum ada listrik, menulisnya masih manual. Tetapi lihatlah hafalan dan kualitas tulisannnya.
Imam Bukhari dalam semalam setidaknya bangun minimal 25 kali sekedar menuliskan inspirasi yang lewat ketika akan tidur. Tahu tidak dia menulis memakai sinar apa?
Tentu masih manual, lampu minyak, setiap bangun harus menunggu beberapa saat kemudian bisa langsung menulis.
Kita hari ini gimana? Tinggal klik pencet tombol lampu sudah menyala! Tapi adakah diantara kita yang bisa bertahan membaca dan menulis?
Yah itulah yang dikatakan Ibnu Jarir ath-Thabari kepada muridnya, “Apakah kalian siap untuk menulis sejarah?”
Para murid bertanya, “Berapa lembar?”
Beliau menjawab, “Tiga puluh ribu lembar.”
Mereka berkata, “Ini suatu yang sulit yang menghabiskan seluruh umur.”
Maka Ibnu Jarir mengatakan, “La haula wala quwwata illa billah, semangat sudah mati.”
Al-ajru alaa Qodri Masyaqqoh.
“Pencapain yang kita raih, sebagaimana pengorbanan yang kita lalui.”
Abu Ja’far Ahmad al-Qushari pernah tiba di daerah ‘Sausah’ untuk bertemu Yahya bin Umar. Dia mendapatinya sudah menulis kitab. Namun dia tidak mendapatkan apa yang dia pakai untuk membeli kertas, maka ia segera menjual bajunya kemudian hasilnya digunakan untuk membeli kertas.“ (Ma’alimul Iman fii Ma’rifati Ahlil Qairawan, adz-Dzahabi, 3/11).
Keberhasilan selalu berbanding lurus dengan Pengorbanan!
Semangat penuntut ilmu hari ini memang mulai kendor lantaran fasilitas yang memanjakan.
Anda tidak perlu duduk di depan laptop baru mau menulis. Menulislah dimanapun, kapan-pun jika itu memang memungkinkan. Anda bisa menulis inspirasi yang terlewat di HP, buku saku bahkan tissue. Setelah dikumpulkan dilihat kembali bank inspirasi barulah anda mengembangkan, menuliskan kembali.
Soalnya kita juga tidak pernah janjian kapan ketemuan dengan inspirasi.
Ulama dahulu juga tidak menulis pake laptop yang kalau salah bisa didelete langsung. Saat menulis mereka juga tidak dilengkapi fasilitas internet, buku yang setiap saat bisa langsung diambil jika dibutuhkan.
Kalau tidak punya laptop, pinjam ke orang lain. Atau tuliskan dikertas terlebih dahulu kemudian menuliskan di komputer sekalian mengedit.
Fasilitas bukanlah faktor utama dari kualitas sebuah tulisan. Tetapi sejauh mana anda memanfaatkan potensi ketika tidak lagi bergantung dengan teknologi khususunya!
Jangan menunggu inspirasi baru mau menulis
tapi menulislah anda akan menemukan inspirasi!
Msc_
Subhanallah... Menemukan tulisan ini. Sangat menarik n inspiratif... Benar, menulis bukan sekedar memindahkan makna ke dalam kata, lebih dari itu, mentransfer ruh ke dalamnya... Blogwalking...
BalasHapusMenulis menembus batas.. tulisan juga punya ruh..
Hapus