Social Icons

Pages

Haramnya Menulis Fiksi

Beberapa hari yang lalu di kelas syariah 4 sempat terjadi perdebatan hangat dua mazhab. Bukan juga seperti ILC, cuma diskusinya terbilang kecil-kecilan tanpa moderator. Apalagi kalu mau disebut ikhtilaf ulama, ini toh ikhtilaf para juhalaa. Entah darimana pangkalnya, “Bagaimana hukumnya menulis novel
atau fiksi?”
          Sebenarnya ini muncul dari desakan untuk saya membaca sebuah novel karya seorang ikhwah. Mungkin juga karena saya memang agak malas kalau membaca novel. Apalagi memang novelnya belum diterbitkan masih bentuk word.
“Nanti saya baca kalau sudah terbit. Kan beda rasanya membaca buku langsung dengan yang masih bentuk ms. word sampai 100 hal.” Menurut saya itu membosankan.

Kemudian mencoba mengutip fatwa Syekh Sholih al-Fauzan, menulis fiksi cerita khayalan dibolehkan memang ada mafsadat mudharatnya.
Mulailah ada tanggapan, kan menulis novel itu juga penting lho berapa banya orang yang sadar berhijab setelah membaca novel.
Ayat-ayat cinta misalnya semenjak difilm-kan, anak-anak muda kemudian akrab dengan sapaan, Afwan, akhi, ukhti dll istilah bahasa arab lainnya.

"Tapi di filmnya itu, bukan mahram saling berpegangan tangan"

Setidaknya novel memberikan pencitraan tersendiri. Apalagi memang masyarakat  terutama kaula muda lebih cenderung membaca novel daripada buku-buku mulia yang terkadang isinya berat-berat. Mereka lebih enjoy diceramahi agama lewat cerita meskipun itu terkadang khayalan.

"Kalau buku agama kadang dibaca sampai pertengahan saja. Tapi jarang orang baca novel tidak selesai. Pastinya mau tahu jalan cerita sampai akhir kisah"
Memang sih ada orang yang tergugah hatinya ketika membaca cerita. Sadar, kemudian rajin sholat, berhijab.
"Coba perhatikan berapa banyak orang yang sudah membaca ayat-ayat cinta, best seller."

"Kalau bicara soal pembaca paling banyak. Kitab Shohih Bukhari sudah bertahun lamanya dan masih tetap dibaca hingga hari ini. Bukan soal best seller satu zaman saja. Kalau bicara pahala, berapa banyak orang yang membaca hadist riwayat Bukhari kemudian mengamalkannya."

Tetapi persoalannya kemudian, media dakwahnya pada hal yang masih "syubhat". Meskipun tujuan kita untuk dakwah mengajak manusia pada kebaikan tetapi perlu juga diperhatikan wasilahnya. Wasilah tidak menghalalkan segala macam cara mencapai tujuan.

Ibarat masakan, setiap tulisan ada pembacanya. Tinggal bagaimana anda meracik bumbunya. Di Makassar banyak penjual coto, kenapa orang lebih memilih datang ke warung anda.

Ada juga berdalihkan, “Kan namanya cerita fiksi pastinya membohongi orang lain.
“Berbohongkan diperbolehkan pada tiga keadaan.”
“Tapi apakah menulis fiksi masuk dalam tiga kategori tadi?”

Yang dipermasalahkan sebenarnya soal fiksi karena ceritanya dibuat-buat, khayalan dan membohongi orang.

"Kan beda kalau saya bilang, baca tulisan saya, ini fiksi. Dibanding memberikan tulisan kepada orang lain tanpa memberi tahu kalau itu cerita fiksi."

"Alangkah ganjalnya, setelah membaca novel, tersedu-sedu menangis. Dikatakan padanya, "Akhi itu tadi tidak nyata, fiksi!!!"

"Lalu bagaimana dengan buku ta'bir  program bahasa, itu fiksi juga kan. Berarti nggak boleh dong belajar bahasa Arab pake percakapan yang ada di Silsillah al-Arabiyyah, Al-Arabiyyah an-Nasyiyyin, Baina Yadaiki. Percakapannya, ceritanya dibuat-buat alias fiksi?"

"Bukankah dalam al-Qur'an begitu banyak kisah nyata para Nabi dan orang sholeh. Tentu kisahnya tidak pernah basi dibaca sampai hari kiamat. Apa sudah bosan dengan kisah al-Qur'an? Kalam Allah"

"Ada nggak diantara kita yang sudah baca artinya saja al-Qur'an sampai tamat karena tidak bisa mengerti bahasa arab? Atau sudah ada yang menamatkan membaca Hadits Arba'in karya Imam an-Nawawi,haditsnya cuma 40-an saja?
Kalau memang orang-orang malas membaca Hadits Arbain. Ada yang mengusulkan,"Bagaimana kalau 40-an haditsnya dibuat novel. Jadi ketika selesai dibaca novelnya secara tidak sengaja dia sudah membaca Hadits Arbai'in an-Nawawiyyah."
Novel Arbain Nawawiyah jadinya. :) keren juga

Ada juga berpendapat, kalau bertanya soal hukum kepada ulama hadits pastinya tidak membolehkan menulis fiksi. Namun jika merujuk ulama fiqh akan berbeda jawabannya, dibolehkan jika ada mashlahat di dalamnya.

Humm.. perdebatan yang cukup panjang. Kesimpulannya sementara, sebelum menulis fiksi baiknya mempertimbangkan beberapa hal,
  1. Setiap orang punya mazhab menulis. Tidak bisa kita paksakan yang suka menulis nonfiksi untuk membaca semisal novel. Pastinya itu membosankan.
  2. Pentingnya Fiqh awliyat. Semua genre kepenulisan pada dasarnya sama-sama penting. Namun adakalanya penting and very-very important. Bagaimanapun baiknya isi pesan dari sebuah fiksi tidak boleh melampaui kapasitas bacaan al-Qur’an kita. Masa novel setebal 300 halaman dilahap habis satu pekan. Al-Qur’an cuma 114 surah, dibaca sebulan itupun sekali dalam setahun! kalau baca buku agama baru pertengahan sudah selesai. Kalau baca novel berjilid-jilid tidak bisa tidur.
  3. Menyangkut soal haramnya tidaknya menulis fiksi. Ini bergantung dari niat awal kita. Apakah memang didalamnya ada mashlahat yang lebih besar? Diharapkan memperkecil mafsadat? Jika akhirnya menulis fiksi membuat seseorang lalai dari kewajiban (baik ibadah atau mu’amlah) baiknya dipertimbangkan lagi.
  4. Kalaupun memang ada yang lebih suka menulis cerita, fiksi. Cobalah angkat kisah yang nyata. Atau menulis dengan gaya, PELIT (Personal Literatur). Menceritakan kejadian sehari-hari kemudian mengambil hikmah pelajarannya. Ingatlah! Bagaimanapun usaha manusia membuat sebuah skenario (fiksi),  kisah nyata, takdir Allah lebih banyak mengandung hikmah pelajaran. Tidak ada salahnya juga jika kita menulis fiksi untuk mashlahat, memberikan permisalan gambaran kepada orang lain semoga ia mengambil pelajaran.
  5. Di Fiksi yang menjadi masalah kemudian ketika khayalannya berlebihan. Meskipun menulis fiksi juga pada hakekatnya disesuaikan dengan kenyataan. Seperti misalnya ia baru saja di rumah. Lalu tiba-tiba dalam sekejap sudah ada di depan ka'bah. Itu benar-benar tidak bisa diterima. Atau sementara ia berjalan tiba-tiba ada daun jatuh dari surga.
  6. Begitupun kalau kita hendak melihat bagaimana al-Qur'an bercerita kisah Nabi Yusuf ketika digoda oleh Zulaikha. Penggambarannya tidak sedetil bagaimana ia dirayu, tidak diceritakan bagaimana cara Yusuf memandang, debaran jantungnya ketika diajak kayak gimana. Al-Qur'an tidak menceritakan sampai mengundang pikiran ke hal lain. Juga ketika al-Qur'an hendak menceritakan bagaimana hubungan suami-istri dipakai istilah bercocok tanam. Saya kira ini yang perlu diperhatikan dalam menulis fiksi. sesuai batasan syar'i-nya.
Jadi fiksi tidak sampai diharamkan secara mutlak, dalam batasan syar'i tentunya. Jangan terburu-buru mengharamkan sebelum melihat dalil ataupun fatwa ulama.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Inspirasi

Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam as-Syaafi'i dll memang telah tiada di dunia ini.

Namun, ketika manusia membaca buku, tulisan mereka ...

"Berkata, Imam Bukhari, Muslim as-Syaafi'i rahimahumullah ..."

Saat itu pula seolah mereka masih hidup di dunia...

Msc_