Aku akan
bercerita padamu,
Pekan-pekan
itu, koran-koran media-media elektronik sibuk sendiri. Bukan soal
pencalonan
khalifah. Salah satu hizbi terkena skandal. Bukan kelebihan sogokan
semakin berkurang. Petingginya ikut proyek pelebaran sayap kanan. Kenapa?
“Ini
strategi, tolong bermain cantik!” ujar Dzulkhulafair.
“But,
bukankah saatnya kita jadi terbuka, fleksible!”
“Orang-orang
sudah berburu posisi, sebelum duduk, kita berdiri duluan”
“Entahlah, namanmu jadi tageline hari ini”
“Kumpulkan,
manusia-manusia yang sudah kau loby”
***
Disini,
beribu luka masa lalu harus kubayar untuk masa depan.
“Ini keputusan terakhir, pencopotan semua
jabatan, pencitraan hizbi”
“Ini tidak
adil, bukankah kita bisa saja berhubungan dengan manusia apa-pun”
Dzulfikar
kembali termenung, pengumuman penyidik segera keluar. Tinggal menunggu jam.
Kalau terbukti,
ia akan segera meninggalkan menuju negeri DzulKhair.
***
“Tulisanku harus
terbit! Biar manusia tahu, kalau pisau itu bermata dua.
Semangat
Dzulfikar mengebu-gebu, soalnya media ini paling bergensi. Tulisan perdana
harus menuai duka bagi penulisnya. Gembira bercampur sedih.
Sebelum matahari
menunjuk jum’at pagi. Persoalan ini harus diangkat ke Khalifah.
Sudahlah kamu
belum punya kekuasaan apa-pun. Tirani politik kebakaran ideologi.
Sekiranya khalifah
tahu apa situasi yang sebenarnya kita hadapi. Tentu keputusanmu masih
dipertimbangkan.
Kecewa.
Khalifah menutup
mata, negara kita baru saja proklamasi. Intervensi pihak manapun tidak
disetujui. Kondisi politik memang sudah memanas. Kasus-kasus mulai bermunculan.
Sengaja,
setiap manusia punya bank aib.
“Kau yakin,
seperti itu proklamasi kejayaan!”
“Semua,
punya cara yang berbeda menemukan takdirnya.”
Lalu,
Di pengasingan
itu, Dzulfikar terinspirasi menuliskan hal ikhwal.
Semua tentang
perjuangan. Cukup, bait-bait hati ini ditenun, dituang dalam gerakan tinta dan cinta.
Sudahlah.
(bersambung
...)
0 komentar:
Posting Komentar