“Musuh
yang alim lebih baik daripada teman yang
bodoh.”
_pepatahArab
Sahabat, teman dan karib adalah rangkaian kehidupan. Kita
tidak bisa memungkiri bahwa mereka adalah bagian hidup ini. Apa yang kita capai
tidak lepas dari peran mereka. Sampai Rasulullah
bersabda, “Seseorang bergantung dari temannya. Maka hendaklah kalian melihat
dengan siapa ia berteman.”
Untuk mengetahui bagaimana seseorang sebenarnya anda tidak perlu bertanya bagaimana karakternya.
Cukup anda melihat siapa temannya. Siapa sahabat karib dekatnya. Sebab gambaran
seseorang, prilaku dan karakternya sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.
Pergaulannya dan temannya.
Namun di dunia ini tidak ada yang ideal. Jikta kita hendak
menginginkan teman yang sejati. Memberi kita nasehat saat dibutuhkan,
memberikan bantuan ketika susah, menemani saat kita sendiri. mencari sahabat
seperti itu mungkin adalah sebuah hal mustahil. Bisa jadi ada langsung
mengatakan, “Sebaik-baik teman duduk adalah buku.”
Hal in bisa saja dibenarkan, jika memang sudah tidak ada lagi
teman se-ideal itu. Tetapi tidak
seyogyanya kita menjadikan benda mati sebagai teman satu-satunya. Sebab
antara kita akan ada saling mengisi melangkapi satu sama lain.
Abdullah Ibnu Mubarak rahimahullah
tidak sedikit melewati hidupnya menyendiri dari keramain manusia. Ketika ia ia
ditanya, Mengapa anda suka menyendiri?
Beliau menjawab, “Jika saya duduk bersama sahabat-sahabatku,
saya seolah mempelajari bagaimana kehidupan para salaf. Adapun kalian, hanya
menggibah manusia saja.”
Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan, “Siapa yang ingin mengambil
contoh qudwah teladan. Maka ikutilah orang-orang yang telah meninggal, wafat.
Sebab orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah.”
Dan qudwah yang ideal tidak lain adalah Rasulullah.
Manusia yang dikatakan oleh istrinya Aisyah, “Sesungguhnya akhlak beliau adalah
al-Qur’an.” jika yang dimaksud buku tadi, maka sebaik-baik buku adalah
al-qur’an kitab Allah.
Segalanya dinilai dari awalnya, dan ditentukan oleh akhirnya.
Sesungguhnya amal ditentukan dari akhirnya. Segalanya diukur bagaimana
akhirnya. Bisa saja ada orang awalnya baik, tetapi siapa yang tahu ia menutup
akhir hidupnya dengan keburukan.
Belajar Kebaikan dari Orang Lain
Dalam bermu’amalah, interaksi dengan berbagai manusia akan
merangsang kepekaan dalam menilai mereka. Mengambil pelajaran antara satu
dengan lainnnya. Belajar akan kelebihan dan kekurangan masing-masing person.
Kita tidak mungkin melakukan segala kebaikan di dunia ini. Maka mari belajar dari kebaikan orang lain.
Belajar akan akhlak. Jadikanlah
saudara sahabat kita sebagai cermin utnuk pribadi sendiri. Ada mungkin diantara sahabat kita
keras, pemarah, mudah tersinggung, berperangai lembut. Bahkan yang berperangai
lembut, tenang pendiam. Sebab akhlak pada dasarnya terbagi dua. Jibiliyyah
dan muktasab. Jibiliyyah atau akhlak yang sebab keturunan, alami
sifat dasarnya. Dan Muktasab, diusahkan untuk mendapatkan.
Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Cintailah seseorang
sekedarnya saja. Sebab suatu saat engkau akan membencinya. Dan bencilah seseorang
sekedarnya pula. Jika suatu saat engkau akan mencintainya.”
Tidak kalah pentingnya juga potensi dari setiap sahabat kita.
Ada orang yang dibukakan potensi shalat, puasa sedekah dan lainnya.
Dalam sebuah hadits lemah namun punya maknanya baik. “Sesungguhnya
Sebaik-baik sahabat Rasulullah yang penyayang adalah Abu Bakar, yang paling
tegas Umar. Yang benar malu-nya Ustman. Paling tahu masalah halal haram Muadz
bin Jabal. Yang paling tahu masalah tafsir al-Qur’an Ibnu Mas’ud.”
Seperti itulah gambaran, sampai
sahabat Rasulullah punya potensi yang berbeda-beda. Sampai Ibnu Mas’ud
mengatakan, “Saya lebih suka shalat lail daripada puasa sunnah. Sebab ketika
saya puasa sunnah maka akan sulit untuk bangun shalat lail.”
Imam Malik selalu ikut bermajlis,
menuntut ilmu. Maka datanglah Abdullah al-Umari memberi saran untuk tidak
terlalu sibuk dengan ilmu , i’tikaf di mesjid saja.”
Maka beliau menjawab, Sesungguhnya
Allah telah membagi kebaikan kepada setiap orang sebagaimana membagi rezkinya.
Ada orang yang dibukakan pintu shalat, puasa, shalat lail, sedekah dsb.”
Dan yang terpenting dalam hal pertemanan ukhuwah adalah
keikhlasan. Kita berukhuwah memang benar-benar karena Allah. Sebagaimana sabda
Nabi tujuh golongan yang dilindung ihari kiamat kelak. Dua orang saling cinta
mencintai karena Allah dan berpisah karena Allah.
Disebutkan tafsirnya bahwa yang memisahkan mereka adalah
kematian. Dan ini harus bersyarat keihlasan. Seperti Imam Sya’fi’i mengatakan,
“Saya lebih suka jika manusia mengambil ilmu dariku dan tidak menisbatkan
kepada diriku.”
Mereka tawadlu merendahkan diri di hadapan Allah, maka Allah
menakdirkan mereka tinggi disisi manusia.
0 komentar:
Posting Komentar