Shalat adalah tiang agama. Siapa yang
meninggalkannnya berarti telah merobohkan agamanya. Rasulullah Sallahu
‘alaihi wa sallam sampai ke langit tujuh menerima langsung syariat agung
ini. Satu-satunya ibadah yang mempersyaratkan berwudhu, bersuci sebelum
melaksanakannya. Tidak ada ibadah yang diperintahkan untuk khusyu’ di dalamnya
kecuali shalat.
Amalan yang
pertama kali dihisab kelak adalah shalat.
Ibarat kereta api, maka shalat adalah lokomotifnya. Sebaik bagaimanpun
gerbongnya, jika lokomotifnya tidak beres maka keretanya ikut bermasalah. “Sesungguhnya yang
petama kali akan dihisab atas seorang hamba pada hari kiamat adalah perkara
shalat. Jika shalatnya baik, maka baikpula seluruh amalan ibadah lainnya,
kemudian semua amalannya akan dihitung atas hal itu." (HR. An-Nasa'i).
Jika
shalat saja ia remehkan, maka bagaimana lagi dengan ibadah lainnya. Penyikapan
kita akan shalat sebagaimana terhadap agama. Kata Imam Ahmad, “Siapa yang
menyia-nyiakan shalat, maka urusan selainnya juga ia sia-siakan.”
Siapa yang meninggalkan shalat karena sibuk
dengan jabatannya, ia sama saja dengan Fir’aun. Siapa yang lupa shalat lantaran
sibuk dengan harta perdagangannya, ia sama saja dengan Qorun. Menjaga shalat
berarti menghindarkan diri dari sifat Fir’aun dan Qorun.
Barangsiapa menjaga shalatnya maka shalat tersebut akan menjadi cahaya,
bukti dan keselamatan baginya pada hari Kiamat nanti. Dan barangsiapa tidak
menjaga shalatnya, maka dia tidak akan memiliki cahaya, tidak pula bukti serta
tidak akan selamat. Kemudian pada hari Kiamat nanti dia akan (dikumpulkan)
bersama-sama dengan Qarun, Fir'aun, Haman dan Ubay Ibnu Khalaf." (HR. Ahmad, At-Thabrani dan Ibnu Hibban).
Tentu, meninggalkan shalat berdosa. Namun
masalahnya bukan kecil besarnya dosa, tetapi kepada siapa kita berdosa.
Ketika Allah memerintahkan kepada para
Malaikat untuk bersujud kepada Adam, hanya Iblis yang tidak mau sujud karena
sombong. Menganggap dirinya lebih baik diciptakan dari api daripada Adam dari
tanah.
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS.
Al-Baqarah: 34).
Renungkanlah! Sedangkan Iblis notabene makhluk
ciptaan Allah disuruh sujud kepada sesama makhluk, Adam. Enggan, tidak mau dan
ia langsung divonis sebagai golongan kafir. Maka bagaimana lagi dengan
makhluk bernama manusia, sudah aqil-baligh diperintahkan sujud, bukan menyembah
sesama makhluk. Tetapi menyembah kepada yang menciptakan makhluk, Tuhan
Manusia. Bagaimana kekafiran orang yang enggan untuk shalat?
Para sahabat bersepakat, orang yang meninggalkan shalat hukumnya kafir. “(Yang menghilangkan pembatas) antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim). Rasulullah Sallahu ‘alaihi wa sallam sampai memerintahkan membakar rumah orang yang meninggalkan shalat. “Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafik) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka sesungguhnya ia telah kafir." (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasai).
Bahkan, Iblis dan Adam sama-sama berbuat salah dan dikeluarkan dari surga. Adam melanggar larangan Allah untuk tidak memakan buah khuldi. Iblis tidak melaksanakan perintah Allah untuk sujud pada Adam. Namun lihatlah, Bani Adam masih bisa kembali masuk surga sementara Iblis tidak akan pernah kembali masuk surga.
Bahwa orang yang tidak melaksanakan perintah
Allah lebih besar dosanya daripada yang melanggar laranganNya. Akan lebih besar
dosanya yang meninggalkan shalat daripada yang mencuri. Bukan berarti mencuri
lebih baik. Karena keduanya sama-sama berdosa.
Namun seorang muslim tidaklah menganggap remeh
urusan shalat. Kelak penghuni neraka ditanyai, "Apakah yang memasukkan
kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak
termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS. Al-Muddatsir: 42-43).
Hasan al-Bashri mengatakan, “Jika urusan shalat saja kamu remehkan maka ibadah
apa lagi dalam syariat ini yang kamu agungkan?”
Shalat Berjama’ah
Kabarkanlah pada orang yang berjalan
dikegelapan menuju mesjid shalat, sesungguhnya ia akan mendapatkan cahaya di
akhirat.
Tidak sedikit ayat maupun hadits selalu mengisyaratakan untuk shalat berjama’ah. “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43). Ulama telah sepakat untuk wajibnya shalat berjama’ah bagi laki-laki di mesjid. Tentu ketika umat islam berkumpul lima kali sehari semalam di mesjid akan memperkuat persatuan. Jika dalam ibadah agung ini kita susah berjama’ah, bagaimana lagi kita bersatu dalam urusan lainnya.
Meskipun pernah datang laki-laki orang buta
meminta keringanan kepada Nabi untuk shalat di rumah saja. Nabi mengatakan,
“Apakah kamu mendengarkan azan?” ia menjawab, “Ia”. “Maka jawablah panggilan
azan itu, datang ke mesjid meskipun dengan merangkak.”
"Barang
siapa yang mendengar panggilan (azan) kemudian tidak menjawabnya (dengan
mendatangi shalat berjamaah), kecuali uzur yang dibenarkan." (HR. Ibnu
Majah). Shalatlah berjama’ah sebelum
orang-orang berjama’ah menshalati kita.
Tepat
Waktu
Jika masih sering lupa shalat, maka shalat
tepat waktu adalah solusinya. Sebab jika masih ada kata menunda, shalat akan
selalu diakhir waktu atau bahakan tidak sama sekali. Dan akan lebih membantu
untuk konsisten ketika shalat berjama’ah.
Jika saja kita disuruh oleh pimpinan datang
menemuinya pukul 05.00 pagi. Maka bagaimana jadinya kalau kita datang setelah
pukul 07.00? Bagaimana lagi jika hendak menyembah yang Menciptakan kita, namun
kita selalu terlambat!
“Amal apakah yang paling Allah cintai?”
Rasulullah menjawab: “Shalat tepat waktu.” (HR. Bukhari). Tepat
waktu juga berarti, tidak shalat sebelum waktunya. “Sesungguhnya
shalat suatu kewajiban yang telah ditetepkan waktunya bagi orang-orang beriman." (QS.
An-Nisa : 103).
Tidak sedikit yang shalat padahal belum masuk
waktunya. Ketika azan padahal belum masuk waktu shalat. Kita tidak bisa
berpatokan pada jadwal waktu sepanjang masa. Sebab bisa saja terjadi perubahan
waktu antara satu masa ke masa lainnya.
Begitupun iqamat, bukan hak muazzin apalagi
jama’ah tetapi Imam. Imam
at-Tirmidzi mengatakan, “Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa muadzin lebih
berhak dalam hal azan, sedangkan imam lebih berhak dalam hal iqamat.” Dalam
kitab al-Mughni (2/72) karya Ibnu Quddamah disebutkan, “Tidak boleh
dikumandangkan iqamat sampai imam mengizinkannya.”
Dikatakan juga waktu antara azan dan iqamat
ibarat seorang yang bisa masih makan. Bisa jadi ada saudara kita yang
mengamalkan hadits, “Tidak ada shalat ketika makanan sudah terhidangkan, dan
menahan dua hal yang paling busuk (menahan buang air besar dan kencing).” (HR.
Muslim).
Seperti penggunaan alarm pertanda qamat. Ini
bukanlah satu-satunya pegangan, namun hak qamat tetap Imam. Bahkan Rasulullah Sallahu
‘alaihi wa sallam kadang memperlambat takbiratul ihram disebabkan
masih mengatur shaf ataupun berbicara pada seseorang yang baru mengenal islam.
Seperti dalam hal ketika masih sementara mengadakan musyawarah yang membutuhkan
waktu sampai ditunda qamatnya. Ini menunjukkan komitmen mereka terhadap
pemimpin khususnya Imam.
Rapat
dan Meluruskan Shaf
Entah karena ukuran sajadah terlalu besar,
hingga kadang menjadi penghalang untuk bisa rapat dalam shaf. Padahal, "Luruskan
shafmu, sesungguhnya meluruskan shaf adalah bagian dari mendirikan shalat yang
benar." (HR. Bukhari dan Muslim). Jika rapat lurusnya shaf adalah masalah
sepele. Tentu Rasulullah Sallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu sampai
menunda takbiratul ihram lantaran masih mengatur shaf.
“Luruskan shaf-shaf kalian (beliau
menyebutkannya tiga kali)! Demi Allah, sungguh-sungguh kalian meluruskan
shaf-shaf kalian atau Allah akan benar-benar membuat hati-hati kalian
berselisih.” (HR. Bukhari Muslim).
Tuma’ninah dan Khusyu’
Tuma’ninah merupakan bagian dari rukun shalat.
Tidak terburu-buru, diam dan tenang. Tuma’ninah baik ketika rukuk, sujud dan
duduk diantara dua sujud. Sampai Rasulullah mengatakan tiga kali kepada
seorang, “Kembali, ulangi shalatmu. Sesungguhnya engkau belum shalat.” (HR.
Bukhari). Inilah satunya-satunya ibadah yang diperintahkan untuk kita tuma’ninah.
Bahkan dikatakan orang yang terburu-buru dalam
shalatnya diibaratkan shalat seperti ayam yang berpatuk-patuk. Tidak khusyu’ juga
bisa mengurangi kesempurnaan pahala. "Sesungguhnya, seseorang beranjak
setelah mengerjakan shalatnya dan tidak ditetapkan pahala untuknya kecuali
hanya sepersepuluh untuk shalatnya, sepersembilan, seperdelapan, seperenam,
seperlima, seperempat, sepertiga atau setangah darinya." (HR. Abu
Dawud).
Mendahului
Imam
"Sesungguhnya
dijadikan imam itu untuk diikuti keseluruhannya. Jika ia bertakbir maka
bertakbirlah, dan jangan bertakbir sampai imam bertakbir, dan jika dia ruku'
maka ruku'lah dan jangan ruku' sampai imam ruku'. " (HR.
Bukhari).
Berjalan
di depan orang yang Shalat
Baik orang yang
dilewati di hadapanya itu sebagai imam, maupun sedang shalat sendirian dan
melangka (melewati) di antara orang selama khutbah shalat Jum'at. Rasulullah
bersabda, "Jika orang
yang melintas didepan orang yang sedang shalat mengetahui betapa beratnya dosa
baginya melakukan hal itu, maka akan lebih baik baginya untuk menunggu dalam
hitungan 40 tahun dari pada berjalan didepan orang shalat itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengeraskan Suara
Hingga Mengganggu Orang di Sekitarnya.
Ibnu Taimiyyah
menyatakan, "Siapapun yang membaca Al-Qur'an dan orang lain sedang shalat
sunnah, maka tidak dibenarkan baginya untuk membacanya dengan suara keras
karena akan mengganggu mereka.” Sebab, Nabi pernah meninggalkan
sahabat-sahabatnya ketika mereka shalat ashar seraya bersabda, "Hai
manusia setip kalian mencari pertolongan dari Rabb kalian. Namun demikian,
jangan berlebihan satu sama lain dengan bacaan kalian."
Semoga kita temasuk, “Orang-orang yang
memelihara shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 9). "
0 komentar:
Posting Komentar