Saya langsung menjawab, “Kita beda mazhab menulis”.
Sepertinya jawaban ini butuh penjelasan lebih lanjut.
Begini, “Setiap penulis itu punya mazhab sendiri!!!”
Jadi anda mazhab apa?
Manusia ditinjau dari sudut pandang menulis dan berbicara terbagi empat. Ada orang pandai bicara depan umum tapi tidak bisa menulis. Kalau ceramah, pidato sudah keliling nusantara. Tapi tidak punya buku satupun. Bagaimana kita bisa membendung banyaknya buku berfaham sesat. Miris juga. Bahkan diminta menulis dari awal sampai akhir yang dibicarakan tadi tidak bisa. Ada cerita, seorang trainer ternama menyuruh penulis buku terkenal menulis semua perkataannya saat berbicara. Kemudian royaltinya 50:50 atas nama trainer tadi. Penulis ini akhirnya menolak, mendingan menulis buku sendiri.
Ada juga suka menulis tapi tidak bisa bicara depan umum. Makanya jangan heran kalau anda punya teman diajak ketemuan nggak pede. Eh pas sms-an lancar, bahkan puitis bicaranya. Ia lebih menyukai mengungkapkaan perasaan jiwa pikirannya lewat huruf dan kata-kata. Lebih leluasa kalau menulis.
Yang ketiga ini jarang, pandai bicara apalagi menulis. Dua senjata sekaligus. Tipe seperti ini akan lebih sistematis kalau membawakan materi. Tidak mengembang pembahasannya. Apalagi kalau menulis, terinci. Terakhir, semoga anda bukan orangnya. Tidak pandai berbicara apalagi menulis!
Dalam dunia literasi kepenulisan setidaknya ada dua mazhab terbesar, fiksi dan non fiksi. Fiksi kayak penulis cerpen, puisi, cerbung, novel pokoknya ranah khayalan. Kalau nonfiksi seperti penulis artikel, opini, berita dan lainnya. Itupun masih terbagi lagi, ada penulis “golongan kiri” biasanya lebih vulgar.
Tidak semua penulis novel itu bisa menulis artikel. Begitupun sebaliknya. Jelas beda mazhabnya. Mungkin ada yang bisa menggabungkan fiksi sekaligus non fiksi. Tapi itu berbilang. Kalaupun penulis opini menulis novel. Yakin, novelnya pasti ke-opini-opinian. Anda akan menemukan lebih banyak penjelasan, lebih idealis.
Memang agak susah menggabungkan keduanya. Bayangkan, kalau terbiasa menulis cerpen pasti pikirannya selalu melayang-layang, Imajiner. Sementara artikel itu harus ilmiah disertai bukti nyata. Tetapi kalau penyair terus menulis novel, tulisannya lebih “roman”.
Ini juga bergantung lingkungan. Terutama bacaan. Kalau orangnya suka baca novel pasti ia jadinya mau menulis novel juga. Itu masalahnya, tidak terlalu tertarik baca novel! Sementara menulis sangat dipengaruhi gaya bahasa bacaan. Jadi sebenarnya, menulis itu pengejawantahan rangkuman bacaan.
Kami menyarankan, kalau memang anda punya minat menulis novel bisa dialihkan ke kisah inspiratif. Supaya tidak terlalu fiktif. Meskipun imajinasi itu sebenarnya hasil dari pengamatan kita terhadap kenyataan. Tidak mungkin dia berimajinasi tanpa menyaksikan alam nyata. Banyak hal pengalaman pribadi bisa angkat. Jangan lewatkan begitu saja tanpa anda mengikatnya.
Pertimbangkan mashlahat dan mafsadat menulis novel, tidak boleh melanggar syariat. Kalau sudah terlanjur suka bercerita, anda bisa menulis kisah inspiratif saja. Seperti karangan Abu Umar Baasyir, Sandiwara Langit. Atau kisah nyata seorang lumpuh bertaubat, Saat Hidayah Menyapa. Kalau novel bisa anda lihat, Kemi. Karya Dr. Adian Husain Menceritakan dua orang tokoh, satu terkena virus sepilis. Lainnya berusaha menasehati temannya dengan menjelaskan sesatnya faham ini dengan logika sederhana.
Kalau buku inspiratif terdekat, ada Hanya Padamu Penuh Cinta karangan Maryam Imilda. Kalau yang ini bercerita seorang guru SD IT suka duka mengajar. Bagaimana mengusai kelas, mengenali karakter murid. Kalau guru tidak sekedar mengajar, tapi juga mendidik. Bisa juga anda menuliskan kisah travelling. Entah anda pergi berdakwah suatu tempat, atau negeri asing. Entah menarik hikmah dari setiap kejadian penting. Itu lebih mencerahkan umat.
Anda juga bisa mengembangkan, menerjemahkan, menceritakan kembali kisah-kisah para salaf terdahulu. Dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, ringan dan menarik. Membaca langsung buku aslinya lalu terjemahkan dengan bahasa sendiri. Seperti buku Seuntai Kalung Cinta karya Ustadz Ihsan Zainuddin. Atau lebih bersifat memotivasi, kumpulan kisah para salaf yang berceceran dibuku-buku para ulama . Semisal penulis Dhee AR., Setinggi Menara Masjidil Haram.
Fiksi sebenarnya masih ‘kontroversi’. Apalagi kurang seru tanpa ada bumbu cinta dan wanitanya. Seorang teman mengaku ‘terpaksa’ memasukkan pemeran female di nevelnya padahal niatnya full laki-laki. Persoalannya, kalau anda menceritakan romantisme pastinya ada sandiwara-sandiwara berpeluang kontak langsung ‘kedua jenis’. Lebih parah kalau pake istilah ‘pacaran islami’.
Kalau memang mau memasukkan hal seperti itu, jangan digambarkan sedetil mungkin. Coba cermati al-Qur’an ketika menceritakan bagaimana Zulaikha menggoda Yusuf. Tidak dijelaskan detail, bagaimana Zulaikha menarik perhatian Yusuf, memandang, tebal dandanannya, yang sifatnya vulgar.
Cukup dengan isyarat tanpa penjang lebar. Kalau ada ta’aruf misalnya, tidak usah gamblang. Ta’aruf dilakukan hanya hendak melamar. Jangan sampai menimbulkan persepsi yang berbeda pada pembaca. Anda maunya mereka tercerahkan justru tersesatkan. Disayangkan memang, sebagian jebolan timur tengah sepulang ke tanah air, tahunya cuma buat novel.
Terlepas dari semua itu, “Tinggalkanlah yang meragukan bagimu kepada yang tidak meragukan” Kata Nabi. Kalau masih syubhat kenapa tidak mengambil yang sudah jelas.
Dan,
Kalau menulis fiksi untuk mengambil ibrah, sebenarnya masih banyak kisah nyata. Cukuplah, “Sungguh pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat. Tetapi membenarkan (kitab-kitab) sebelumnya. Menjelaskan segala sesuatu dan (sebagian) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang beriman ” (Q.S. Yusuf:111).
Kenapa susah-susah cari himah dari kisah fiktif sementara ada kisah paling nyata. Kita mau yang pasti-pasti saja deh. Daripada kisah-kisah belum jelas asal-usulnya. Kisah Israiliyyat saja kita tidak menolak tidak pula mempercayai 100%.
Meskipun kisah fiktif itu ada hikmahnya, tidak ada yang bisa memberikan hikmah lebih banyak daripada kisah-kisah dalam al-Qur’an. Sungguh di semua kisah dalam al-Qur’an punya banyak hikmah. Kisah paling baik. Apa kita sudah bosan dengan kisah-kisah al-Qur’an?
“Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu” (Q.S. yusuf :3).
Kalau anda bisa baca novel, kumpulan cerpen setebal 300 halaman hanya rentang 2-3 hari. Patut diacungkan jempol. Anda sudah rajin membaca. Tetapi, jika anda hanya mampu membaca al-Qur’an 2-3 halaman perhari. Miris, mengerikan, keterlaluan! Anda lebih menyukai, mendahulukan karangan manusia daripada Firman Allah!
Hidup ini singkat, jangan memperpendek lagi dengan hal-hal yang tidak terlalu penting. Meskipun anda memberikan seluruh jiwa raga untuk belajar, menelaah, mengajarkan semua kisah dalam al-Qur’an itu tidak sebanding dengar jatah hidup. Memang, kita selalu dihadapkan pada hal-hal kelihatan semuanya penting. Seorang muslim yang faqih pasti mendahulukan yang very important dari lainnya. Jika ingin hidupmu lebih bermakna, jangan perbanyak hal-hal yang mubah! Berusahalah mencari mana lebih utama, lebih afdhal.
Sepanjang sejarah, Imam bukhari, as-Syaafi’i, Syaikh bin Baz, al- Utsaimin dan lainnya kita kenal bukan penulis novel apalagi cerpen. Sekali lagi, menulis adalah pekerjaan keabadian. Tidak ada buku bisa bertahan 1000 tahun silam, kecuali sekaliber shohih Bukhari, Muslim dan ulama lainnya. Dan memang seperti dikatakan Imam Malik, “Apa yang hanya karena Allah itulah yang abadi!”.
Msc_ 5.7.13
0 komentar:
Posting Komentar