“Mendidik setahun, tetapi berarti seumur hidup!”
Hidup memang terlalu singkat untuk dilalui. Bahkan umur yang
singkat itu tidak cukup untuk mengerjakan segala kebaikan. Namun manusia yang
cerdas adalah bisa memafaatkan waktunya sebaik mungkin. Nah, untuk membuat
hidup yang singkat lebih berarti adalah meninggalkan karya. Bahkan membangun
peradaban. Salah arsitek peradaban manusia adalah guru. Siapa yang tidak kenal
dengan guru? Semenjak jaman dahulu sampai sekarang ia selalu menjadi sumber
inspirasi sejarah kehidupan manusia. Ada apa dengan guru?
Guru memang profesi yang cukup sederhana, tetapi bukan
berarti mudah dilalui. Berapa banyak
orang besar hari ini, lahir dari kaderisasi
seorang guru. Dahulu profesi guru itu cukuplah sederhana sekali. Belum ada yang
namanaya PNS seperti saat ini. Bahkan mereka sama sekali tidak digaji. Dan memang
begitulah tujuannnya, bukanlah untuk mencari tanda jasa.
Lihatlah generasi salaf terdahulu sampai rela mengajar
bertahun-tahun tanpa upah. “Sebaik-baik diantara kalian adalah yang belajar dan
mengajarkan al-Qur’an”. periwayat hadits
ini mengatakan, “Saya bertahan mengajar
al-Qur’an hanya karena hadits ini”. Begitu penuhnya kesabaran dan cintanya pada
ilmu.
Namun, satu hal yang telah hilang saat ini, “Guru Cinta”.
Guru yang tak sekedar mengajar, tetapi juga mendidik penuh cinta dan
keikhlasan. Kita mungkin lebih teringat, “Guru tanpa tanda jasa” . Bukan berati
menjadi guru itu tidak mengharapkan imbalan. Tetap mencari pahala dunia
akhirat.
Kenapa banyak pengangguran? Boleh jadi ilmunya tidak berberkah. Kenapa tidak
berberkah? Segera baca, buku inilah akan menjawab penasaran anda.
Meskipun belum dijelaskan bagaimana salaf as-solih terdahulu
menjadi guru yang baik sekaligus murid beradab. Tetapi penulis akan berusaha mengajak anda, Bagaimana
seharusnya kita menjadi guru, bukan sekedar mengajar tetapi juga mendidik dan
membina generasi qur’ani. Mendidik dengan akhlak keteladanan. Ia akan
menceritakan sendiri pengalamannya, bagaimana serunya menjadi guru. Apalagi
mengajari anak-anak yang belum tahu sama sekali membaca. Membaca huruf dan
kehidupan ini.
Bagaimana menjadi pendidik yang baik, menghadapi anak nakal
dan berbagai karakter. Bahkan membuat kelas itu tetap tenang. Mendidik secara
sederhana, tetapi bermakna . Terbukti hasil didikan beliau membekas saat
siswanya disuruh mengarang. Tak pernah
luput dari penggalan paragraf karangan siswanya, ibu guru Maryam.
Jika membaca awal-awal
tulisan, anda akan merasakan bagaimana serunya menjadi guru “dadakan”. Sampai
bikin gemes gurunya lantaran “putus asa” menghadapi siswa bandel. Dari sudut pandang orang pertama, Penulis
mampu membuat pembaca terlibat langsung dalam setiap penggalan kisahnya. Jangan
lewatkan setiap kisahnya tanpa mengambil hikmah di dalamnya!
Dengan petikan percakapan, membuat
kisah ini lebih hidup. Ditambah lagi dialek khas bugis mampu membuat pembaca
lebih dekat corak kehidupannya. Buku ini sangat cocok bagi siapa saja
mengimpikan guru idaman. Terutama guru paling sederhana, madrasah keluarga.
Guru yang tak sekedar mengajar, tetapi juga mendidik dengan hati, penuh cinta!
(resensi
buku, Hanya Padamu Penuh Cinta karya Maryam Imilda)
0 komentar:
Posting Komentar