Paling sering
disebutkan dalam al-Qur’an, masalah waktu. Kita mungkin sudah sering membaca
tulisan ataupun nasehat tentang waktu. Pembahasan dalam dien ini tidak mengenal
kata basi. “Dan tetaplah mengadakan
peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang
beriman” (Qs. Adz Dzazariyat : 55). Atau pepatah, fil
‘aadah ifadah.
Setiap pengulangan selalu ada faidahnya. Sampai Allah bersumpah,
“Demi masa”(al-ashri:1). Betapa pentingnya
masalah waktu.
Menghargai, konsisten dengan waktu
salah satu ciri khas bangsa Jepang. Sering datang terlambat merupakan aib buat
mereka. Begitupula, cepat datang sebelum waktunya juga aib. Bahkan cepat pulang
kerja, ciri-ciri orang yang tidak produktif, tidak dibutuhkan.
Orang Barat sering mengistilahkan time is
money. Namun doktrin ini berefek
samping. Tidak sedikit orang kita saksikan masih sibuk jual-beli lantaran azan sudah dikumandangkan.
Karena prinsip ini, akhirnya shalatnya sering tertunda. Alasan sibuk mencari
uang, ibadah diabaikan.
Padahal waktu lebih dari sekedar uang. Segalanya
memang butuh uang, tetapi uang tidak bisa membeli segalanya. Waktu tidak bisa disamakan
dengan uang. Uang tidak bisa membeli waktu. Waktu bagi seorang mukmin adalah ibadah. Ad-dunyaa
sa’ah, ij’al tho’ah. Dunia itu sesaat, jadikanlah taat.
Manajemen waktu
Islam agama sempurna dari segala lini
kehidupan, apapun itu. Hakekatnya, “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik
orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah” (HR.
Tirmidzi). Jika saja bangsa Jepang hari ini begitu tinggi etos kerjanya
terutama ketepatan waktu. Sesungguhnya kita lebih berhak dari semua itu.
Rangkaian ibadah sudah cukup
mengkondisikan seorang muslim memanfaatkan waktunya. Ibnu Mas’ud pernah
bertanya kepada Rasulullah tentang amal yang paling disukai Allah azza wa
jalla. Beliau bersabda, “Sholat tepat
waktu” (HR. Bukhari & Muslim). Jika ingin belajar manajemen waktu, Shalat
berjama’ahlah bisa menjadi ukuran. Orang
yang sering masbuk, yakinlah dalam pekerjaannya akan ada saja kata “terlambat”.
Sedangkan hubungan pada Rabb sering disepelekan, bagaimana lagi dengan orang
lain.
Puasa, juga mengajarkan bagaimana konsisten
dengan waktu. Mulai rentang waktu sahur sampai magrib. Tidak diperkenakan lagi
makan minum setelah fajar, apapun alasannya. Kita tidak mungkin beralasan,
“Afwan saya terlambat sahur”.
Fenomena menunda waktu. Seolah
terlambat itu bisa teratasi dengan kata, “Maaf”. Jangan heran, sering kita
menghadiri suatu kegiatan molor waktunya. Hingga muncul istilah Wita (Waktu itu
Terserah Anda).
Sekaliber presenter TV atau penyiar
radio tidak kita temukan, “Maaf pemirsa, pendengar sekalian. Saya terlambat,
soalnya jalanan tadi macet!”. Ketika
jadwal tampil, tidak ada alasan terlambat. Saat
itu pula anda bukan milik istri, anak dan keluarga anda. Anda adalah milk umat! Pemirsa
tidak mau tahu, apapun alasannya. Disaat dibutuhkan, harus hadir juga saat itu!
Bagaimana Waktu Bermanfaat?
Mengatur Waktu
Shalat lima kali sehari, hakekatnya
mengarahkan kita mengatur waktu. Karena, “…sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (Qs.
An-Nisa’: 103)”. Artinya tidak ada alasan untuk terlambat. Waktu-waktu shalat
akan mengingatkan kita mengatur waktu. Jika bukan mengatur, kita akan diatur
waktu.
Sering tidur pagi, padahal pagi adalah
waktu paling produktif dan berberkah. Dari sahabat Shokhr Al Ghomidiy, Nabi
bersabda, “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”. Terutama
setelah shalat subuh. Sekiranya ia punya jadwal menghafal al-Qur’an, tentu
tidak ada waktu untuk tidur pagi. Jadwal yang kosong memicu untuk mengisi pada
kegiatan tidak bermanfaat.
Seorang Gubernur zaman Khalifah Umar
sempat diprotes rakyatnya. Lantaran mengurusi umat hanya pagi sampai sore saja.
Setelah ditanya, “Sesungguhnya saya telah menyiapkan waktuku, dari pagi sampai
sore mengurusi umat. Apapun itu kebutuhannya. Adapun malamku, khusus untuk Rabbku”.
Target Waktu
Nabi Musa ketika akan menemui Khaidir
telah menyusun targetnya. “Aku
tidak akan berhenti (berjalan) sebelim sampai ke pertemuan dua buah lautan;
atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun. (QS. 18:60). Target akan memacu seseorang mencapai
tujuannya. Target akan menjadi tolok ukur pencapaian keberhasilan.
Dalam hal, “Puasa yang diwajibkan itu ialah beberapa hari yang tertentu.. “(al-Baqorah: 184). Allah sengaja
menyebutkan “hari-hari berbilang” agar kita lebih fokus. Bagaimana sekiranya,
seorang menawarkan lomba lari berhadiah miliyaran rupiah. Pasti pertanyaannya,
“Sampai dimana finishnya?”. Apakah kita sanggupi, “Pokoknya lari saja, tanpa
batas!”. Begitupula kehidupan. Akan janggal jika ada manusia hendak hidup
selamanya tanpa batas di dunia fana.
Itulah hikmah, “Barangsiapa yang membayarkan sebelum shalat Ied maka zakat itu
diterima dan barangsiapa membayarkannya setelah shalat maka zakat itu
(nilainya) sebagai sedekah biasa.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)”.
Agar seorang muslim senantiasa memperhatikan target waktunya. Tidak suka
terlambat. Keterlambatan akan mempengaruhi jadwal waktu berikutnya.
Waktu Senggang
Sabda Rasulullah, "Ada dua nikmat yang keduanya memperdaya
kebanyakan manusia,yaitu sehat dan waktu luang" (HR. Muslim). Manusia
benar-benar tertipu oleh waktu senggang. Sewaktu sibuk punya seribu agenda.
“InsyaAllah, liburan nanti saya akan menghafal al-Qur’an”. Saat liburan tiba, ia benar-benar libur total
dari semua agendanya. Seolah ada rasa balas dendam. Akhirnya liburan hanya digunakan untuk tidur, bahkan bermaksiat,
na’udzu billah.
Seorang ulama, selama dua puluh tahun
tidak pernah makan malam dengan tangan kanannya. Bukan karena cacat. Melainkan
disuapi oleh saudari perempuannya. Kemana tangannya? Ia sibuk membaca, dan
lainnya memegang pena menulis!
Sampai, ada yang menghemat waktu
makannya. Ia menyuruh menumbuk makanannya, supaya cepat mengunyah. Bahkan Ibnu
Taimiyyah tidak sempat menikah lantaran sibuknya belajar menelaah hadits.
Seluruh waktunya untuk menuntut ilmu.
Mubadzzir Waktu
Tidak punya jadwal, apalagi target
menggoda untuk menyia-nyiakan waktu. Menggunakan seadanya saja. Kebiasaan
paling menonjol, terlalu banyak bercerita tidak bermanfaat. “Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang:
jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”
(HR. at-Tirmidzi)
Isyarat, “Siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berbicara yang baik atau
diam” (HR. Bukhari). Sejalan dengan, “diam itu emas bicara perak”. Bukan
berarti diam tanpa komunikasi, bicara sesuai takarannya. Semua yang keluar dari
mulut akan tercatat tanpa kecuali. Pembicaraan tanpa faidah akan melebar tanpa
arah. Seyogyanya, cerita banyak diganti dengan banyak membaca.
Bersegera
Menghindari keterlambatan dengan
bersegera. “Bersegeralah kalian melakukan amal-amal yang shalih, karena akan terjadi suatu
bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita, dimana ada seseorang pada
waktu pagi beriman tetapi pada waktu sore ia menjadi kafir, pada waktu sore ia
beriman tetapi pada waktu pagi ia telah kafir. Ia rela menukar agamanya dengan
kesenangan dunia” (HR.Muslim).
Faktor keterlambatan seringnya menunda-nunda. Pepatah
Arab mengatakan, “Telur hari ini lebih
baik daripada ayam besok”. Jika ingin melakukan kebaikan, selama mampu
lakukan sekarang juga. Menunda-nunda bagian godaan syaitan.
Seorang ulama selama berpuluh tahun
shalat berjama’ah tidak pernah melihat betis di depannya. Artinya selalu shaf
awwal. Jika azan dikumandangkan, tidak ada lagi waktu berlama-lama dengan
urusan dunia. Rasulullah bersabda, "Barang siapa melakukan shalat berjama'ah
karena Allah dan selama 40 hari dia mendapatkan takbir pertama (dalam setiap
shalat), maka akan dicatat baginya dua kebebasan: kebebasan dari api Neraka dan
kebebasan dari (sifat) kemunafikan”.
Karena itu, “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari
Tuhanmu, dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan bagi orang-orang yang bertakwa”. (Surah Ali ‘Imran: 133)”. Tidak termasuk manusia dalam kerugian. “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran”
(al-Ashr:3).
Keberkahan Waktu
Qadli
Abu Yusuf shalat dua ratus rakaat dalam sehari. Salaf as-sholih terdahulu menghidupkan malamnya, siangnya berjihad seperti
singa-singa. Utsman
bin Affan menghatamkan Al-Qur'an sehari sekali pada ramadhan. Abu
bakr bin athiyah al-muharribi mengulang-ulangi membaca shahih bukhari
sebanyak 700 kali sehari. Abu
Hurairah termasuk paling banyak dari tujuh sahabat periwayat hadits. Padahal ia
bersama Rasulullah tidak terlalu lama dibanding sahabat lainnya.
Ibnul Jauzy bisa menulis sembilan
Kurrasah setiap hari (satu kurrasah sebanding 30 halaman). Dan setiap tahun karya beliau dicetak sebanyak 50-60 jilid dan telah
menulis 2000 jilid kitab. Sama-sama
punya waktu 24 sehari, tetapi bisa menghasilkan sejuta karya. Bukankah itu
hanyalah waktu yang berbilang saja?
Inilah keberkahan waktu. Kualitas hidup tidak dinilai dari banyaknya waktu yang kita gunakan.
Tetapi bagaimana memanfaatkan waktu yang berberkah. Semoga kita diberikan keberkahan waktu dan
umur. Karena, Sesungguhnya kewajiban itu banyak, sementara persediaan waktu
terbatas!
Muhammad Scilta
Riska,
0 komentar:
Posting Komentar