Social Icons

Pages

Jalan Sejenak



Kamu pernah naik kereta? Apa yang kamu rasakan? Saya pernah, waktu itu jurusan Bogor-Jakarta. Di kereta kita akan menyaksikan bagaimana orang berburu tempat. Siapa yang duluan dia dapat. Mementingkan diri sendiri memang sangat mencolok dalam situasi seperti ini.

Dalam versi lain, kemarin saya sempatkan lagi naik pete-pete setelah beberapa tahun. Sampai lupa berapa lagi tarifnya. Lama juga, tapi cukup berkesan. Menikmati bagaimana kena macet di siang bolong. Orang-orang saling berlomba mendapatkan lampu hijau. Tidak peduli akan saling memberi kesempatan. Hampir tidak ada yang mau mengalah. Seolah semuanya punya alasan kesibukan sendiri. Kesabaran akan sangat teruji di tengah macet.

Beginilah adanya kehidupan kota. Perlahan materi menjadi ukuran kebahagiaan. Individualisme ditinggikan. Semua orang pura-pura. Pura pura tidak tahu penderitaan orang lain. Disaat itupula kita justru melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. 

Di kereta, meskipun cepat bebas macet, saya tidak tahu daerah mana yang sedang dilewati selain pemberitahuan stasiun pemberhentian. Sempat ingin melihat ke jendela. Tapi hanya bagunan-bangunan melaju cepat. 

Hidup kadang membosankan. Mungkin kamu terlalu cepat, sehingga tidak sempat menikmatinya. Kamu perlu jeda sejenak, berhenti memperhatikan sekelilingmu. Banyak inspirasi, hal sederhana mulai berguguran bermakna. 


 “Antum tahu nggak berapa jumlah anak tangga asrama?”tanyanya.
“Hmm.. berapa yah.”
“Padahal sudah tiga tahun antum naik turun asrama kok tidak pernah hitung.”
Kita juga akan merasa bosan jika menganggapnya sebatas rutinitas. Shalat misalnya. Pemahaman yang sempurna akan memberikan kita pemaknaan sesungguhnya. Lima kali sehari kita melakukannya, namun sejauh mana kita memaknainya. Shalat bukan sebatas menunaikan kewajiban belaka. Adakah shalat telah mencegah kita dari perbuatan keji nan mungkar?
Jika tidak, muhasabahlah. Khusyu’ tidaknya, tuma’ninah dalam shalatmu, menyempurnakan rukun-rukunnya.


“Fadhel, antum saja pake motorku ya”
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa, sekali-kali saya mau jalan sama ikhwah”

“Lho kok antum mau jalan kaki”
“Tidak apa-apa kan, nanti kuceritakan maksudnya” 

Saya sebenarnya lebih suka jalan kaki. Semenjak SD sampai SMA jalan kaki ke sekolah. Dalam perjalanan  banyak sekali pelajaran. Ketika jalan kaki, saya bisa melihat lebih dekat bagaimana kondisi jalan, menelusuri hutan tembok, menyebrang diantara macet.

Saya bisa menyaksikan bagaimana juru parikir mengatur kendaraan yang bukan miliknya. Tapi dia setia menjaganya. Momen-momen anak-anak SD berlarian menuju penjemput masing-masing. Memahami raut muka daeng becak, daeng bentor keyakinannya menawarkan senyum pada calon penumpang. Termasuk pergi shalat berjama’ah di mesjid utamakan jalan kaki. Setidaknya kita tidak bergantung pada kendaraan.
Yah perjalanan itu menyenangkan. Apalagi jika ditulis sebagai refleksi pembacaan kita terhadap kehidupan. Hidup sebagai penerjemah makna. Perlahan saya mengenali diri, dunia bahkan. Dan diantara tumpukan inspirasi itu, saya juga menemukanmu!

0 komentar:

Posting Komentar

 

Inspirasi

Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam as-Syaafi'i dll memang telah tiada di dunia ini.

Namun, ketika manusia membaca buku, tulisan mereka ...

"Berkata, Imam Bukhari, Muslim as-Syaafi'i rahimahumullah ..."

Saat itu pula seolah mereka masih hidup di dunia...

Msc_