Social Icons

Pages

Tulisan per-Nikah-an

Suatu waktu di beranda hari, kami saling cakap menerka masa depan. Seorang disampingku berkata dengan nada sedikit mengguncang, “Jomblo ideologis itu.” Saya belum mengerti arah pandangannya. Apakah dia ingin menyerangku atau. Kuharap dia masih sadar akan dirinya juga masig singgle.
“Bukannya mikirin akhwat, tapi ummat” simpulnya.

Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik menggarap satu tema ini. Entah mengapa, adanya memang benar Mata Kuliah Fiqh Muqoron semester ini pembahasannya Kitab Nikah jadinya  punya inspirasi. Apalagi teman-teman jomblowers kalau pade ngumpul, selalu saja tema sentralnya, “Kamu kapan?”
“Sendal aja ada pasangannya, kamu?”. “Nanti kalau sahur, yang bangunin siapa? Mercon”. “Pencuri aja ada yang kejar, masa kamu kagak” dan meme semacamnya.

Memang sekarang ini bukan persoalan ‘adalah’, tapi ‘inilah’. Kalau bicara nikah paling bersemangat, disana ada yang diam-diam. Nggak banyak teori, eh taunya langsung muncul undangannya.

“Jomblo itu bukan masalah. Yang masalah kalau sudah menahun” lanjutnya. Sempat senyum bercampur kaget. Pasien yang mau diruqyah setelah ditanya apa keluhannya. Satu persatu disebut. “Gampang marah, susah tidur, mimpi dikejar binatang, dan galau tingkat akut.” Ternyata dari sekian keluhannya, masalah utamanya belum punya pendamping. Belum dapat jodoh galaunya minta ampun. Siang malam pikirin nikah terus.
Akhirnya berujung pada sebuah kesimpulan. “Jomblo menahun salah satu gangguan jin” kata seorang Ustadz Peruqyah. Entah karena dia disuka sama jin, atau ada kiriman sihir dari orang lain. Solusinya menikah. Tidak heran pula, seorang teman akhirnya menikah dengan yang diruqyahnya.

Ada pesan menarik dari penulis Surga yang Tak dirindukan, “Ketemu jodoh itu belum tentu kepastiannya. Sementara kematian sudah pasti datangnya. Jadi ngapain sibuk mengurusi hal yang belum pasti sementara sudah ada yang sangat pasti.” Adalah sekarang kita lebih fokus memperbaiki diri untuk menghadap padaNya. Daripada waktu terkuras mikirin jodoh, lebih baik digunakan untuk berkarya dan berarti. Membaca dan menulis lebih bermanfaat. Toh kalau mempersiapkan kehidupan akhirat sigap, tentu lainnya lebih siap pula.

Namun bukan berarti setelah menikah persoalan usai. Sebab ternyata syetan menggoda manusia tidak kenal henti. Fakta mengungkapkan sekarang juga kita saksikan perceraian sangat tinggi.
“Saya telah membuat sepasang kekasih berzina” lapor syetan.
“Bagus, lanjutkan itu” jawab bossnya.
“Saya telah merasut seorang hingga mencuri” sebut yang lain.
“Ok, lanjutkan” timpal bossanya lagi.
“Saya telah berhasil membuat pasutri bercerai”
“Nah, kerjamu bagus sekali. Sini, kamu pantas dapat mahkota”
Nyatanya, kerja syetan yang dapat reward tinggi adalah mereka yang berhasil menceraikan sepasang insan. Bukan berarti cerai itu dicela. Karena itu juga solusi jika memang tidak memungkinkan lagi bersama.
“Ilmu itu paling penting. Jangan coba-coba menikah sebelum khatam kitab nikah” kira-kira begitu logika yang kutangkap dari dosen diawal pertemuannya. “Tidak hanya Kitab Nikah, lanjutkan Kitab Talak. Sebab berapa banyak pernikahan retak hanya karena persoalan sepele. Logika sederhana pun sulit menerima jika hanya dengan alasan demikian lantas kita mudahnya menyatakan talak” lanjutnya.

Beberapa hari lalu Syekh Hamid bin Hamid dari Mesir bercerita. Cinta itu tiga macam. Yang kucintai, kecintaan yang kucintai serta musuhnya yang kucintai juga musuhku.
Mencintai sebagaimana kecintaan yang kita cintai adalah bagian dari mencintainya” tambahku.
Mencintai seseorang berarti siap mencintai kehidupannya. Jika kita hanya ingin mencintainya tanpa mau menerima segala hidupnya. Artinya kita hanya mencintai jasad tanpa jiwa.
Mencintai berarti siap menerima. Kehidupannya meliputi impian, cita-cita, keluarganya juga kepribadiannya. Kalau sebelum menikah setiap kita bisa jadi punya impian gambaran hidup sendiri. Bisa jadi itu sama, bertolak belakang bahkan. Mungkin pula akan kesal, bangunan hidup yang bertahun kita semai, terpaksa harus ditata ulang lantaran seseorang tiba-tiba datang membongkar. Akad itu menyatukan, nyatanya kita harus berbagi persepsi akan arah hidup. Jangan sampai kita seatap namun berbeda langit.

Tapi fakta berkata lain. Terkadang kita sulit menerima orang lain. Muncullah kesalahpahaman, kecurigaan. Atau jangan-jangan kita hanya kagum pada seorang sebagai individu. Lalu menutup dari memadang kehidupannya yang luas. Kita hanya menerimanya sebagai ‘kini’ tanpa mau tahu masa lalunya. Jika masa lalunya kelam, maka menerima itu sejauh mana kita melihat masa depannya. Seseorang itu menanti pendamping yang menceritakan masa depan, bukan mempermasalahkan masa lalu.

“Pernikahan itu bukan persoalan menyatukan dua hati. Namun dua keluarga besar” gerutuku. Ini lebih kompleks lagi. Keluarganya juga keluarga kita. Kita harus menerima keluarganya sebagai bagian dari keluarga besar kita. Memperhatikan nasab sebelum memilih, sebab demikianlah islam menyatukan, mertua-menatu, pasutri otomatis menjadi mahram.

Tidak dipungkiri, ada saja akhlak dari pasangan yang tidak kita sukai. Namun ketahuilah ada pula yang akhlak lain yang kau sukai. Demikianlah cinta adalah penerimaan. Tidak mengenal kamuflase sebagaimana cinta semu mengatasnamakan pacaran. Hanya menampakkan yang baik-baik saja. Seolah tidak punya cacat sedikitpun. Akad kita berarti janji siap menghadapi pahit manisnya hidup.
Sebab mencintai seseorang berarti siap menerima segala kehidupannya. Maka sungguh bijaklah nasehat Rasulullah. “Pilihlah karena agamanya.” Apabila agama ia pegang teguh, baik pula kehidupannya.


Tidak perlu kau mengkhawatirkan hari-hari lalu

Sebab dia tidak mungkin tergantikan lagi
Optimislah memandang masa depan
Sebab takdir tidak akan pernah meleset
Jangan pula kau bersedih akan kehilangan dunia
Demikian dia pasti berlalu selama akhirat tujuanmu
Gantungkan keyakinanmu pada Allah semata
Bersyukurlah akan hidupmu niscaya kan kau jalaninya sungguh indah

0 komentar:

Posting Komentar

 

Inspirasi

Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam as-Syaafi'i dll memang telah tiada di dunia ini.

Namun, ketika manusia membaca buku, tulisan mereka ...

"Berkata, Imam Bukhari, Muslim as-Syaafi'i rahimahumullah ..."

Saat itu pula seolah mereka masih hidup di dunia...

Msc_