Social Icons

Pages

Terjebak Diam




Temanku, di tulisan sebelumnya mengomentari tentang diam.
“men-Cinta-i dalam diam” tulisnya.


Atau dalam bahasa lain. Seorang dalam jarak, tak ada cakap selain harap. Hanya saling mendo’akan dalam diam.
Bukannya saya tidak setuju. Namun sampai kapan kita terjebak diam?
Di halte, bus, kampus, bandara atau tempat manapun itu berkerumun manusia, masing-masing mereka sibuk dengan gadgetnya. Apakah itu disebut diam?

Di mesjid, di pelatihan awal kali kamu bertemu seseorang, alangkah meruginya jika sekedar bertepuk muka. Tak sepotong senyum, salam apalagi, inikah yang kau sebut diam?

Kamu tidak pernah tahu, dari kartu nama, nomor HP mana yang nantinya menjadi jawaban permasalahanmu. Kehidupan tanpa pergerakan bahkan tidak terjadi siklus.
“Air yang tinggal diam akan membusuk” sebut Imam as-Syafi’i.
***

“Lalu bagaiamana kita mengetahui izinnya?” tanya Sahabat.
“Diamnya (perempuan) adalah tanda izinnya (kesepakatannya)” sabda Nabi.
Ini mungkin yang kau maksud diam itu. Namun zaman berkata lain. Bukannya lagi diam, tidak sedikit perempuan justru yang lebih mengungkapkan pandangannnya. Lebih berpendapat dari orang tuanya. Atau bisa dikatakan malu itu sebanding diam.

Dilain waktu, diam itulah yang paling dibutuhkan penjelasan. Selama diam, kita tidak bisa menarik kesimpulan apa-apa. Jika murid terus diam, bagaimana sang guru mengetahui sudah mengerti atau tidak.

“Bicara yang baik atau diam”
Nabi tidak memerintahkan diam dulu, bicaralah tapi syaratnya harus bermanfaat. Diam bukan opsi pertama. Sebab penjelasanlah meyakinkan tanya.

Anak siapa ingin terus dicintai dalam diam. Pastinya ia menunggu jawaban resmi. Orang mana yang terus mau digantungin. Jika terus dalam diam, lalu bagaimana kita menemukan hati yang masih terbungkus jarak.
Terus bertanya pada rumput bergoyang?

Setidaknya kita sedikit tahu tentang rumput. Bagaimana jika ia terbuat dari kawat. Setiap hari ganti alas kaki. Bagaimana  pula jika diam itu terbuat dari luka atau bara. Akan ada mendera batin. Diammu mungkin masih berupa kekaguman dalam bongkahan yang belum sempat kamu ikatkan pada jemarinya.

Di kedai harap kita selalu bertemu. Namun itu sebatas pertemuan masa, tak ada sapa, kata, suara. Bisa jadi sejumlah pertanyaanmu, jawabannya ada padaku. Atau tanda tanyaku selama ini, kamulah jawabannya.
Jika darat ada tepinya, disinilah awal kali kita mengarungi bahtera lautan. Demikian diam juga akan expired. Dari sepatah akad, kita memulai perjuangan. Meskipun diam kadang bisa menjelaskan lebih dari sekedar kata-kata. Jika terus dalam diam, lalu kapan mengatakannya?

Menjaga diam sungguh membutuhkan banyak kesabaran, kelapangan. Siapa sangka di dalamnya ada gejolak, berlarian dengan waktu, nanti keduluan. Mengutarakan diam juga bukanlah persoalan cepat tidaknya, namun jangan sampai kamu masih di selatan. Lantas beralasan, nanti. Tapi pastinya, Barat tidak pernah mendahului Timur menemui matahari. Kecuali kalau kamu mengatakan itu sudah kiamat. Setiap orang telah ditetapkan sesuai garis edarnya.

“Tetaplah diam, meskipun luka dalam hatimu sedang berkata-kata,
Tataplah senyummu, walau matamu sudah meneteskan luka”

Kesabaran masih luas menampung ke-Diam-anmu. Bukan berarti mengungkapkan tanpa resiko. Memilih diam tentulah kamu harus punya maksud. Bukan tanpa sebab. Agar ke-Diam-anmu berkesan dan tidak sia-sia. Adalah mempersiapkan jawaban-jawabannya jika kelak kamu telah siap mengungkap pertanyaannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Inspirasi

Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam as-Syaafi'i dll memang telah tiada di dunia ini.

Namun, ketika manusia membaca buku, tulisan mereka ...

"Berkata, Imam Bukhari, Muslim as-Syaafi'i rahimahumullah ..."

Saat itu pula seolah mereka masih hidup di dunia...

Msc_