Social Icons

Pages

ke-Percaya-an

Kemarin sewaktu cek in di Bandara Hasanuddin. Saya lebih tertarik mencari inspirasi dari sekumpulan calon penumpang menyetorkan barangnya ke awak bagasi. Pemandangan ini mungkin biasa bagi
kita apalagi yang sudah bolak balik naik pesawat. Bagi saya tidak.
Adakah terbesit sekali saja dibenak para penumpang tadi akan nasib barangnya? Jangan-jangan tertukar atau tertinggal. Justru dia tidak ambil pusing akan “titipannya” sampai ke Airport berikutnya. Padahal dia tidak pernah lihat di bagian pesawat mana diselipkan.
Kenapa dia masih mau naik pewasat sementara sudah ada berita jatuhnya Air Asia. Apa tidak ada kekhawatiran akan kredibilitas sang pilot dan segala perangkat terbangnya? Apa yang membuat mereka sudi menitip barangnya, keselamatan nyawanya bahkan.

Karena mereka percaya dan saling mempercayakan.

Setelah dibanjiri peryataan dan keluhan para mahasiswa, Wakil Direktur itu menjawab dengan pertanyaan, “Apakah kalian masih percaya dengan kami?”
Sebuah jawaban menurut saya pragmatis. Tak tanggung-tanggung to the point.

Apakah kamu masih mencintaiku?”

Mohon maaf jika saya menggunakan ungkapan ini. Maksudku seharusnya dia mengatakan,
Apakah kamu masih mempercayaiku?”
Tidak mungkin dia men-cinta tanpa percaya sebelumnya. Mana ada penjual buahan di pasar ditanya, "Jeruknya manis ya pak?" semakin kamu bertanya soal kemanisan, dia menjawab dua kali lipat lebih manis.

Ke-percayaan adalah benang merah membangun hubungan dengan orang lain. Dan sepertinya kepercayaan telah mengalami krisis yang klimaks.
Saksikanlah, ketika rakyat sudah tidak percaya kepada pemerintahnya. Semua kebijakannya pasti akan dicurigai, dicemoh dan apalah.
Sebaliknya. Dua insan berbeda jalan baru saja ta’arufan, bertukar bidodata sebulan lalu, kemudian sepakat untuk jalan bersama. Sang wali juga tidak menutup harap  untuk mengamanahkan anak perempuannya pada lelaki asing. Itukah disebut saling percaya?

“Jika kukatakan pada kalian dibalik bukit ini ada musuh. Apa kalian  masih percaya sama saya?”
“Tentu Wahai Muhammad. Kami tidak pernah sekalipun melihatmu berdusta.”
Gelar Al-Amin tidaklah disabet dari bangku sekolah, perkuliahan atau kertas-kertas ujian. Dengan kejujuran di kehidupan nyata. Bagaimana orang lain menginvestasikan kepercayaannya padamu jika kamu sendiri tidak jujur dengan dirimu. Sejahat-jahatnya pencuri pasti akan membutuhkan seseorang yang bisa dipercaya untuk menjaga hartanya.

Jika seseorang telah mempercayakan kunci hatinya padamu. Jangan sampai hilang. Kamu tidak akan pernah menemukan duplikatnya.  

Abu Jahl hendak membuktikan ketidakpercayaanya akan Isra Mi’raj Rasulullah.
“Saya tidak percaya dengan cerita karangan Muhammad. Perjalanan semalam bertolak dari Masjidil Aqsho ke langit tujuh.”
Segera ia temui lelaki itu di kebunnnya. “Wahai Abu Bakar, Muhammad telah begini dan begitu. Bagaimana pendapatmu?”
Dia justru berbalik, “Apakah seperti ini yang dikatakan Nabi?” sebutnya.
“Ya, seperti itu dikatakan Muhammad.”
“Jika demikian ini dikatakan Muhammad, saya percaya seratus persen. Jika  Muhammad mengatakan tembok itu warnanya putih. Sedang saya sendiri melihat warnyanya hitam. Maka saya berusaha menyalahkan, mataku yang salah lihat lalu membenarkan Muhammad!” tegasnya. Alangkah kagetnya Abu Jahl mendengar kesaksian iman sang as-Siddiq. Jika kita saling-percaya, tidak ada lagi tanda tanya diantara kita. “Jika demikian saya membenarkanmu wahai Rasulullah.”
Bertahun-tahun kita memegang erat persahabatan hanya untuk mempertahankan saling-percaya. Jika diantara kita sudah tidak ada lagi saling-percaya, nyatanya kita seatap tapi beda langit.
Sekiranya kita juga percaya dan mempercayakan hidup hanya kepada Allah. Tentu tidak ada manusia yang skeptis akan rezkinya, jodohnya dan takdir hidupnya. Jikalaupun tidak sekehendak harapanmu, yakinlah akan kepercayaanmu pada TakdirNya sedang diuji!
Ketika manusia bersyahadat, mempersaksikan “ke-percayaanya”, seharusnya  mempercayakan segala hidup dan tawakkal hanya kepadaNya. Tidak ada yang berani melanggar, atau mempertanyakan syariatnya. Mengapa harus begini dan begitu. Diperintahkan ini dan dilarang demikian.
Karena kita yakin, bahwa segala ketetapan, hukumNya itu demi untuk kemashlahatan kebaikan manusia sendiri. Orang yang syirik, tidak shalat, tidak menutup aurat, berzina, korupsi dsb seolah dia hendak mengekpresikan ketidakpercayaannya pada Tuhan.

Pada akhirnya, “Seluruh shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya kepada Allah Rabb alam semata.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Inspirasi

Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam as-Syaafi'i dll memang telah tiada di dunia ini.

Namun, ketika manusia membaca buku, tulisan mereka ...

"Berkata, Imam Bukhari, Muslim as-Syaafi'i rahimahumullah ..."

Saat itu pula seolah mereka masih hidup di dunia...

Msc_