Social Icons

Pages

#Indonesia Tanpa JIL


Sebenarnya tidak bermaksud mengungkapkan takutnya itu perasaan. Dulu waktu masih  zaman putih abu-abu. Tepatnya di kelas XI sempat terjadi diskusi kecil-kecilan. Maklum saat itu kita baru saja
naik kelas. Desas-desus abis liburan terjadi banyak perubahan. Dan tentunya yang paling menonjol adalah masalah pakaian. Setahu saya hampir semuanya terutama teman perempuan yang memutuskan untuk berhijab. Hanya tinggal satu dua siswi teman kelas yang belum memakai jilbab. Pokoknya banyak terjadi perubahan. Entah kenapa momen kenaikan kelas selalu dijadikan waktu tepat untuk berubah apalagi selepas bulan ramadhan.

Akhirnya jilbab jadi trending topic kala itu. Ada yang semula masuk SMA belum berjilbab, di kelas dua pake jilbab. Adapula belum sempurna hijabnya, tambah makin panjang lebar jilbabnya. Masing-masing teman memuji yang lainnya. Namun ada yang menarik sementara diskusi.  Seorang teman siswi lainnya merasa belum terbetik untuk berjilbab. Tanpa ditanya dia sendiri langsung bilang, “Jilbab itu mode, budayanya orang arab.” Kira-kira seperti itu kalimat pembukanya.

Saya bukan kepalang langsung kaget, sepertinya keren nih hujjah-nya. Sampai belum mau pakai jilbab. Meskipun terakhir pas masuk kuliah saya dapat kabar bahwa dia sudah memakai busana muslimah.
“Coba lihat tuh, kita di Indonesia nggak cocok pake cadar, jilbab besar. Soalnya daerahnya tropis. Cenderung memakai warna warni dalam berjilbab. Jangan hitam melulu” sebutnya meyakinkan argumen.
Saya langsung mengangguk-angguk. “Tapi gimana nih, kalau memang Jilbab itu budaya orang Arab. Kenapa sebelum islam datang pakaian orang arab itu telanjang. Coba saksikan bagaimana penyembahan orang-orang Quraisy khususnya disekitar ka’bah tidak berpakaian sehelai bahkan” sebutku mengajak dia menelaah lebih lanjut. “Jadi jilbab itu memang bagian dari islam.”
“Yang pake cadar itu karena memang disana berdebu padang pasir soalnya.”
“Trus kenapa kaum Adamnya juga nggak pake cadar kalau memang itu untuk menghindari debu pasir.”
Dari diskusi itu, kami cuma masing-masing mengajukan argumen. Maklum juga masih awwam, anak SMA  bisanya menerka saja. Alaa kulli hal,  dari statmentnya inilah pertamakali saya berhadapan dengan paradigma liberalisme.

JIL
Kalau kita bicara liberalisme pastinya langsung tertuju pada Jaringan Islam Liberal. Tokoh pendirinya di Indonesia Ulil Absar Abdallah. Konon backgroud pesantren tapi fahamnnya liberal.
Jaringan, mengapa tidak menggunakan kata organisasi, kumpulan atau forum. Sebab kata Ustadz Das’ad Latief pada dasarnya berasal dari kata jaring. Yah apalagi kalau bukan untuk cari mangsa. Mangsanya adalah orang-orang islam yang masih jahil dengan agamanya. Ini mangsa empuknya. Sungguh kemalangan suatu kaum, tahu dirinya bodoh tapi masih mau dibodoh-bodohi.

Kedua Islam, disini jelas bagaimana makna islam. Tapi yang rancu ketika ditambahkan dibelakangnya. Kalau dalam bahasa arab istilahnya mudhofun ilaihi. Islam disandarkan pada liberal. Islam cuma satu tidak ada kata mengiringinya. Kalau sudah ada berarti ada yang nggak beres nih. Liberal sendiri berarti bebas. Padahal agama tujuannya untuk mengatur manusia. Kalau bebas berkehendak semaunya berarti itu bukan orang beragama. Mengambil sekehendak hawa nafsu.

Menurut Akmal Syafril, jangan lihat JIL dari sudut pandang organisasi. Sebab kita hanya  tertuju pada kantornya di Utan Kayu. Pengurusnya juga bisa dihitung jari. Tapi lihat fahamnya, cara berfikirnya. Seperti teman saya tadi. Dia bukan pengurus ataupun anggota resmi dari JIL. Mungkin ia hanya mendengar temannya, keluarganya yang diskusi dan menganut paham liberal jadinya dia juga ikut mengiyakan. Apalagi belum punya landasan ilmu syar’i mumpuni. jadilah ikut-ikutan dikira pernyataan, statment yang keren. Namanya juga anak SMA masih perlu bimbingan lebih dalam lagi.

Lihat bagaimana cara berfikirnya. Dan pasti itu banyak karena namanya juga jaringan. Mereka disatukan oleh cara berfikir yang sama. Kalau anda mau belajar ilmu kedokteran pasti belajar di Fakultas Kedokteran. Sama juga islam. Bagaimana kita akan mengetahui ajaran islam yang murni kalau belajarnya ke barat. Padahal sumbernya ada di timur tengah. Disinilah letak masalahnya JIL karena berdalil, berpendapat cara berfikir yang sama sekali tidak ada asal ushulnya dalam islam. Jelas, “Apa-apa yang tidak bersumber dari islam pasti tertolak.”

JIL juga pada polanya pemikirannya lebih pada mengutamakan akal daripada wahyu. Contohnya kemarin pas debat antara Ulil dengan Ust Fahmi Salim soal beda agama. “Menikah beda agama itu tidak masalah apalagi kalau dalam hal darurat. Bayangkan seseorang sedang menjalin cinta kasih, mau dikasi nikah tidak jadi hanya gara-gara beda agama. Mau dipisahkan. Sakitnya tuh disini” ungkapnya.
Tapi Akmal Sjafril menimpali, “Dalam hal ini, ketika agama dan urusan pernikahan bertolak belakang. Maka menjaga agama lebih diutamakn daripada sekedar jalinan percintaan beda agama. Kita harus mendahulukan wahyu daripada akal.”

“Jika diibaratkan, pernikahan seperti sepeda, laki-laki adalah ban depan dan wanita adalah ban belakang. Sedangkan agama adalah stangnya. Bagaimana mungkin pada sebuah sepeda terdapat dua buah stang? Maka agamalah yang menjadi penentu arah dari sebuah pernikahan“ tutup moderatornya.
Memang tugas kita jangan sekedar mencemoh mengapa mereka sering menyebarkan paham-paham mereka baik tulisan maupun media lain. Pertanyaannya balik ke kita, mana tulisanmu?
continued

0 komentar:

Posting Komentar

 

Inspirasi

Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam as-Syaafi'i dll memang telah tiada di dunia ini.

Namun, ketika manusia membaca buku, tulisan mereka ...

"Berkata, Imam Bukhari, Muslim as-Syaafi'i rahimahumullah ..."

Saat itu pula seolah mereka masih hidup di dunia...

Msc_