Masih segar dipikiran kita, soal kasus mantan Presiden salah satu partai. Hinga akhirnya persidangan justru
menyatakan beliau tidak bersalah dan dugaan kasus korupsi sama sekali
tidak terbukti. Yang mengharukan lagi, hal ini disampaikan langsung oleh
saksi, terlihat saat persidangan sempat meneteskan air matanya.
Sahabat
yang selalu berpihak kepada kebenaran,
ini mungkin cakupannya skala
nasional. Efeknya juga besar sampai pada tingkat kepercayaan masyarakat.
Namun,
satu hal yang perlu kita pahami dalam kehidupan ini. Baru dugaan kasus
korupsi, sedemikian dramatisnya. Yang belum tentu terbukti. Seolah
“praduga” telah disihir menjadi “vonis”.
Dan ini banyak terjadi pada skala kecil kehidupan kita. Semisal dalam skala ukhuwah, keluarga ataupun organisasi.
Kita
bisa saja berprasangka, seterusnya sampai pada sebuah kesimpulan.
Menvonis tentang seseorang, yang padahal belum pernah kita selidiki
seksama. Yang awalnya hanya lahir dari jejak prasangka-prasangka saja.
Dan sungguh naif jika kita lebih percaya pada prasangka pribadi daripada
mengklarifikasi langsung dari oknum bersangkutan. Apakah prasangka
pribadi sudah cukup untuk membentuk sebuah opini apalagi keputusan?
Apa karena sekedar melihat satu perkara, masalah, kita bisa langsung memutuskan? Dimana pikiran positifnya?
“Wahai orang-orang yang beriman ketika datang kepada kalian orang yang fasik dengan membawa suatu berita maka tabayyunlah (carilan kebenaran berita).”(QS. Al Hujurat : 6).
Dan ini lebih sulit jika bagannya berbentuk up to down. Sang Leader
kadang lebih mudah menvonis downline-nya, tanpa harus meminta
penjelasan lebih lanjut. Tentu, tidak etis, tidak beradab jika yang
“berikut” begitu saja langsung memverifikasi, mengkritik yang “sebagai”.
Bisa jadi ia segan. Karena masih menghormati upline-nya.
Apa juga karena satu indikator pembebanan, penugasan kita bisa langsung menilai baik tidaknya sebuah kinerja?
“Tidak kompeten, tidak amanah, buktinya pernah dikasi PR, tapi tidak dikumpul.”
Apa salahnya berbicara langsung, menanyakan, apa sebabnya. Bisa jadi memang upline belum mengkonfirmsi terkait kesiapan downline akan kebijakannya baru.
Mengapa harus merasa cukup dengan prasangkaan sendiri? sampai memutuskan sepihak.
Apa
kita langsung menilai buruk sebuah sistem? Tanpa harus menanyakan,
pokok permasalahan? Jika tidak tercakup, apa penyebabnya, alasannya?
Bisa
jadi dia memang disana sudah ada peran ganda, berat beban sedemikian
permintaan segera dipenuhi. Lalu kita juga terlalu “memaksa” untuk
kehendak kita.
Kalaupun
memang benar, akan lebih parah, jika ternyata “terpaksa” diupload di
depan massa. Setidaknya akan ada yang merasa “terganggu”.
Dalam memberikan nasehat, kritik, memang kita mengharapkan yang dimaksud bisa setuju. Namun, apakah “cahaya” kita akan sampai ditengah teriknya matahari? Apa kita tidak mau ambil pusing pada terbenamnya sunset, pokoknya harus terbit!
Rasulullah jika menegur sahabatnya tanpa harus menyebutkan merek. “Maa Baalu Aqwam.”
Masih
ada celah untuk kita menyelipkan cahaya diantara gemerlap. Berharap
orang lain beradab pada kita, padahal pula diri sendiri tidak lebih
beradap pada lainnya. Hanya mau dimengerti, tanpa harus mengerti orang
lain.
Ini
sebenarnya persoalan komunikasi saja. Sebuah sistem kadang rusak, retak
gagal gara-gara diskomunikasi. Mengapa kita harus menunggu orang lain
yang mengungkapkan uzurnya. Apa susahnya, “Kenapa ini bisa jadi begini,
apa masalahnya?”
Daripada
sekedar mencukupkan diri dengan prasangka. Bisa jadi apa yang kita
pikirkan tentang mereka justru berbalik dari faktanya?
Jika saja yang mengaku menjalankan “hukum”, justru akhirnya main hakim sendiri, darimana kita berpihak?
0 komentar:
Posting Komentar