Social Icons

Pages

Berpihak dari Mana?

Masih segar dipikiran kita, soal kasus mantan Presiden salah satu partai. Hinga akhirnya persidangan justru menyatakan beliau tidak bersalah dan dugaan kasus korupsi sama sekali tidak terbukti. Yang mengharukan lagi, hal ini disampaikan langsung oleh saksi, terlihat saat persidangan sempat meneteskan air matanya.
Berpihak kemana?
Sahabat yang selalu berpihak kepada kebenaran,
ini mungkin cakupannya skala nasional. Efeknya juga besar sampai pada tingkat kepercayaan masyarakat.
Namun, satu hal yang perlu kita pahami dalam kehidupan ini. Baru dugaan kasus korupsi, sedemikian dramatisnya. Yang belum tentu terbukti. Seolah “praduga” telah disihir menjadi “vonis”.
Dan ini banyak terjadi pada skala kecil kehidupan kita. Semisal dalam skala ukhuwah, keluarga ataupun organisasi.
Kita bisa saja berprasangka, seterusnya sampai pada sebuah kesimpulan. Menvonis tentang seseorang, yang padahal belum pernah kita selidiki seksama. Yang awalnya hanya lahir dari jejak prasangka-prasangka saja. Dan sungguh naif jika kita lebih percaya pada prasangka pribadi daripada mengklarifikasi langsung dari oknum bersangkutan. Apakah prasangka pribadi sudah cukup untuk membentuk sebuah opini apalagi keputusan?
Apa karena sekedar melihat satu perkara, masalah, kita bisa langsung memutuskan? Dimana pikiran positifnya?
Wahai orang-orang yang beriman ketika datang kepada kalian orang yang fasik dengan membawa suatu berita maka tabayyunlah (carilan kebenaran berita).”(QS. Al Hujurat : 6).
Dan ini lebih sulit jika bagannya berbentuk up to down. Sang Leader kadang lebih mudah menvonis downline-nya, tanpa harus meminta penjelasan lebih lanjut. Tentu, tidak etis, tidak beradab jika yang “berikut” begitu saja langsung memverifikasi, mengkritik yang “sebagai”. Bisa jadi ia segan. Karena masih menghormati upline-nya.
Apa juga karena satu indikator pembebanan, penugasan kita bisa langsung menilai baik tidaknya sebuah kinerja?
“Tidak kompeten, tidak amanah, buktinya pernah dikasi PR, tapi tidak dikumpul.”
Apa salahnya berbicara langsung, menanyakan, apa sebabnya. Bisa jadi memang upline belum mengkonfirmsi terkait kesiapan downline akan kebijakannya baru.
Mengapa harus merasa cukup dengan prasangkaan sendiri? sampai memutuskan sepihak.
Apa kita langsung menilai buruk sebuah sistem? Tanpa harus menanyakan, pokok permasalahan? Jika tidak tercakup, apa penyebabnya, alasannya?
Bisa jadi dia memang disana sudah ada peran ganda, berat beban sedemikian permintaan segera dipenuhi. Lalu kita juga terlalu “memaksa” untuk kehendak kita.
Kalaupun memang benar, akan lebih parah, jika ternyata “terpaksa” diupload di depan massa. Setidaknya akan ada yang merasa “terganggu”.
Dalam memberikan nasehat, kritik, memang kita mengharapkan yang dimaksud bisa setuju. Namun, apakah “cahaya” kita akan sampai ditengah teriknya matahari? Apa kita tidak mau ambil pusing pada terbenamnya sunset, pokoknya harus terbit!
Rasulullah jika menegur sahabatnya tanpa harus menyebutkan merek. “Maa Baalu Aqwam.”
Masih ada celah untuk kita menyelipkan cahaya diantara gemerlap. Berharap orang lain beradab pada kita, padahal pula diri sendiri tidak lebih beradap pada lainnya. Hanya mau dimengerti, tanpa harus mengerti orang lain.
Ini sebenarnya persoalan komunikasi saja. Sebuah sistem kadang rusak, retak gagal gara-gara diskomunikasi. Mengapa kita harus menunggu orang lain yang mengungkapkan uzurnya. Apa susahnya, “Kenapa ini bisa jadi begini, apa masalahnya?”
Daripada sekedar mencukupkan diri dengan prasangka. Bisa jadi apa yang kita pikirkan tentang mereka justru berbalik dari faktanya?
Jika saja yang mengaku menjalankan “hukum”, justru akhirnya main hakim sendiri, darimana kita berpihak?

0 komentar:

Posting Komentar

 

Inspirasi

Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam as-Syaafi'i dll memang telah tiada di dunia ini.

Namun, ketika manusia membaca buku, tulisan mereka ...

"Berkata, Imam Bukhari, Muslim as-Syaafi'i rahimahumullah ..."

Saat itu pula seolah mereka masih hidup di dunia...

Msc_