Pendamping
adalah teman paling spesial. Kemuliaan
pendamping sebagaimana keutamaan yang didampinginya. Tentu, asisten pribadi Pak
Lurah berbeda dengan Wali Kota, Gubernur dan seterusnya. Apalagi jadi “kaki-tangan” seorang pejabat terkenal.
Sebutlah juru bicara kepresidenan, orang sudah merasa bangga luar biasa.
Namun,
bagaimana lagi jika yang didampingi adalah manusia paling mulia? Tidak bisa
dipungkiri, sahabat Nabi adalah generasi terbaik umat ini. “Sebaik-baik zaman adalah di zamanku
(sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah
mereka (atba’ tabi’in).” (HR. Bukhari). Para pendamping Nabi adalah orang-orang
pilihan. Merekalah yang diberi kesempatan mendampingi Rasulullah di dunia dan
akhirat.
Ketika
orang bertannya, “Mana lebih utama, Mu’awiyah
radiallahu ‘anhu atau Umar bin Abdul Aziz?”. Tak
bisa ditawar lagi, keutamaan muawiyah jauh lebih tinggi lebih dibanding cucu
Umar bin Khattab ini. Meskipun ia sampai digelari khalifah islam yang kelima.
Debu
yang menempel di wajah Muawiyah saat berjihad bersama Rasulullah sudah cukup
menjadi saksi ia lebih utama. Bagaimanapun,’alimnya diantara umat ini tidak
akan bisa mengalahkan derajat para sahabat. Orang yang bertemu langsung, hidup bersama Nabi. Meskipun hanya sekali, dibanding
kita tidak sama sekali.
Bahkan,
sekiranya kita bersedekah emas sebesar gunung uhud. Tidak akan pernah
mengalahkan nilai sedekah sahabat meskipun itu sebesar biji kurma.
Begitu
banyak hadits selalu bercerita, “Kami pernah duduk, makan, safar sampai
berjihad bersama Nabi”. Bertemu dan duduk di majlis ilmu Nabi sudah menunjukkan
keutamaan yang besar. Bagiamana lagi sahabat yang menghabiskan hidupnya bersama
Nabi?
Sekaliber
Abu Bakar as-Siddiq, orang paling mulia setelah Nabi. Sampai mendapat banyak
kesempatan terlibat dalam momen penting umat ini. Digelari as-siddiq, karena
yang pertamakali membenarkan risalah kenabian dikalangan laki-laki. Termasuk
momen-momen genting, seperti
menggantikan posisi Nabi tidur
ketika dikepung musuh. Saat berhijrah-pun ia kembali terpilih
mendampingi Rasulullah.
Impian itu pun terwujud, hingga akhirnya ia
ditakdirkan dikuburkan di samping kuburan Rasulullah. Menjadi pendamping Nabi
di dunia begitu mulia keutamaannya, bagaimana lagi akhirat kelak?
Bagaimana
dengan kita yang tidak ditakdirkan bertemu dengan Rasulullah? Suatu ketika Beliau merindukan saudara-saudara-nya.
Para sahabat ketika mendengar bertanya-tanya, “"Apakah maksudmu berkata demikian wahai
Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?” kata Abu Bakar. Beliaupun
menjawab, "Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku
tetapi bukan saudara-saudaraku (ikhwan).
Sahabat lain pun mengatakan, "Kami juga
ikhwanmu, wahai Rasulullah". Maka beliau bersabda,
"Saudaraku ialah mereka yang belum pernah
melihatku tetapi mereka beriman denganku sebagai Rasul Allah dan mereka sangat
mencintaiku. Malahan kecintaan mereka kepadaku melebihi cinta mereka kepada
anak-anak dan orang tua mereka."
Mudah-mudahan
kita termasuk di dalamnya. Kesempatan itu selalu ada. Jika kita tidak
ditakdirkan bersama Rasulullah di dunia ini, maka jangan pernah lewatkan
kesempatan di akhirat kelak. Sekali lagi, jangan sia-siakan kesempatan ini!
Lalu bagaimana kita
bisa bersama dengan Nabi kelak?
1.
Mencintai Rasulullah
Tentu,
untuk menjadi pendamping seseorang pertama kali kita harus mencintainya.
Awal dari kebersamaan adalah cinta.
Bagaimana sedihnya, kelak bersama seseorang lantas kita sendiri tidak
mencintainya. Atau sebaliknya, kita mengaku mencintainya, tetapi ia tidak
menerima pengakuan itu. Mencintai Nabi tidak sekedar cinta asalan saja. Tidak
sedikit orang berusaha mengungkapkan cinta Nabi, tetapi justru mendatangkan
Murka Allah.
Bukan cinta semu, tetapi cinta yag menembus
ruang dan waktu. Itulah cinta yang sesungguhnya. Umar pernah mendatangi Nabi, “Aku mencintaimu
wahai Rasulullah tidak melebihi cintaku pada semua orang di dunia ini kecuali
diriku sendiri”. Maka Nabi pun menjawab, “Belum sempurna keimananmu ya Umar”.
Maka Umar-pun mengklrarifikasi, “Kalau begitu aku mencintaimu wahai Rasulullah
melebihi cintaku pada diriku sendiri”. “Nah baru sekarang sempurna cintamu
wahai Umar”.
“Kelak,
seseorang akan bersama dengan apa yang dicintainya ”. Setelah tedengar hadits
ini sahabat berkata, “Tidak ada yang membuat kami gembira melebihi kegembiraan
mendengar berita ini”. Bagaimana mungkin mereka bisa meyamai ibadahnya Nabi, Abu Bakar, Umar dan lainnya.
Namun persoalan cinta, mereka kelak
tetap bersamanya di surga haya karena mencintai Nabi. Kata imam Syafi’i, “Aku mencintai orang-orang sholeh, dan aku
bukan termasuk diantara mereka”.
2.
Menaati
Pengakuan
Cinta tidak sekedar perkataan saja. Butuh pembuktian. Jika
pembuktian butuh cinta maka cinta lebih butuh pembuktian. Sungguh disayangkan
betapa banyak mengaku mencintai Rasulullah, namun disaat yang sama ia melanggar
perintah larangannya.
Menaati Rasulullah
sudah include ketaatan pada Allah juga, “Barang siapa yang menaati Rasul itu
(Nabi Muhammad), sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (An-Nisa’: 80). Apalagi
perintah, "Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya." (An-Nisaa:59).
Menaati juga
berarti menerima segala perintah larangannya. Bukannya mengambil apa yang
sesuai hawa nafsu. ”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan
apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”(QS.Al Hasr:7).
Begitupula, “Seluruh
umatku akan masuk al-Jannah (Surga) kecuali orang yang enggan. Para shahabat
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan?’ Rasulullah menjawab,
‘Barang siapa yang menaatiku, dia akan masuk al-Jannah, dan barang siapa yang
bermaksiat (tidak taat) kepadaku, maka dialah orang yang enggan (yakni enggan
masuk al-Jannah).” (HR. al-Bukhari)
3.
Memperbanyak
Shalat Sunnah
Seorang
budak Rabi'ah bin Ka'ab Ra yang beliau bebaskan. Hingga akhirnya
berkhidmat pada beliau. Sebagai tanda
terimah kasih Rasulullah ingin memberinya imbalan, "Wahai Rabi'ah, mintalah apa yang
kau inginkan". Maka Rabi'ah berkata: "Wahai
Rasulullah, aku ingin kelak bersamamu di surga".
Kemudian Rasulullah berkata lagi, "Adakah selain
itu ?", Rabi'ah menjawab: " Tidak ada wahai
Rasulullah, aku hanya ingin menemanimu di surga. aku telah menemanimu di dunia maka aku ingin
juga bisa bersamamu di akhirat".
Maka beliau-pun bersabda,
"Hendaklah engkau memperbanyak sujud” ( HR. Muslim).
Memperbanyak sujud yang dimaksud dengan memperbanyak shalat
sunnah.
4.
Berakhlak baik
Tentu,
ketika seseorang ingin bersama dengan orang yang paling mulia. Ia-pun juga
harus mempunyai punya akhlak mulia. “Sesungguhnya orang yang paling aku
cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari
kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya.”(HR. Tirmidzi). Dan
sebaik-baik akhlak, akhlak Rasulullah. Sampai Allah memuji, “Dan
sungguh-sungguh engkau berbudi pekerti yang agung”(al-Qolam:4).
‘Aisyah
pernah ditanya bagaimana akhlak Rasulullah, “Akhlak beliau adalah Al Quran”(HR.
Muslim). Karena begitulah tugas beliau, “Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak-akhlak mulia”(HR. Ahmad).
Tidak
sampai disitu, beliau juga paling baik akhlaknya pada keluarganya. “Orang
yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik dengan keluarganya dan
aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tabrani). Karena, “Orang
mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (HR.
At-Tirmidzi).
5.
Membantu Anak Yatim
Begitu
dekatnya jarak Nabi sampai ia bersabda, ‘Aku dan orang yang
menanggung kehidupan anak yatim, kelak di syurga akan seperti ini,’ beliau
memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah beliau yang saling
ditempelkan” (HR. Bukhari).
6.
Memperbanyak Salawat
Salawat kepada Rasulullah hakekatnya kembali
kepada diri sendiri. "Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya
bersalawat (memberi segala penghormatan dan kebaikan) kepada Nabi (Muhammad
SAW); wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu kepadanya serta ucapkanlah
salam sejahtera dengan penghormatan yang sepenuhnya." (Surah al-Ahzab
: 56)
Apalagi, “Barang siapa berselawat kepadaku
waktu pagi sepuluh kali dan waktu petang sepuluh kali , maka ia akan mendapat
syafaatku di hari kiamat.“ (HR. Thabarani). Karena, “Orang yang bakhil
itu adalah orang yang tidak mahu berselawat ketika menyebut namaku di
sisinya.“ (Hadis Riwayat At-Tirmidzi).
Tentu, bersama dengan Nabi di surga kelak bukan
berarti sama kedudukannya. Karena surga juga bertingkat-tingkat. Setidaknya
kita akan dikumpulkan disurga kelak bersama Rasulullah. “Dan barang siapa yang
menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para
shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya.” (An-Nisa’: 69) .
Muhammad Scilta Riska( Buletin al-Fikrah edisi 13 Maret 2013)
0 komentar:
Posting Komentar