Social Icons

Pages

Pendamping Nabi



Pendamping adalah teman paling spesial.  Kemuliaan pendamping sebagaimana keutamaan yang didampinginya. Tentu, asisten pribadi Pak Lurah berbeda dengan Wali Kota, Gubernur dan seterusnya.  Apalagi jadi “kaki-tangan” seorang pejabat terkenal. Sebutlah juru bicara kepresidenan, orang sudah merasa bangga luar biasa.

            Namun, bagaimana lagi jika yang didampingi adalah manusia paling mulia? Tidak bisa dipungkiri, sahabat Nabi adalah generasi terbaik umat ini. Sebaik-baik zaman adalah di zamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (atba’ tabi’in).” (HR. Bukhari).  Para pendamping Nabi adalah orang-orang pilihan. Merekalah yang diberi kesempatan mendampingi Rasulullah di dunia dan akhirat.
Ketika  orang bertannya, “Mana lebih utama, Mu’awiyah radiallahu ‘anhu atau Umar bin Abdul Aziz?”. Tak bisa ditawar lagi, keutamaan muawiyah jauh lebih tinggi lebih dibanding cucu Umar bin Khattab ini. Meskipun ia sampai digelari khalifah islam yang kelima.
Debu yang menempel di wajah Muawiyah saat berjihad bersama Rasulullah sudah cukup menjadi saksi ia lebih utama. Bagaimanapun,’alimnya diantara umat ini tidak akan bisa mengalahkan derajat para sahabat.  Orang yang bertemu langsung, hidup  bersama Nabi. Meskipun hanya sekali, dibanding kita tidak sama sekali.
Bahkan, sekiranya kita bersedekah emas sebesar gunung uhud. Tidak akan pernah mengalahkan nilai sedekah sahabat meskipun itu sebesar biji kurma.
Begitu banyak hadits selalu bercerita, “Kami pernah duduk, makan, safar sampai berjihad bersama Nabi”. Bertemu dan duduk di majlis ilmu Nabi sudah menunjukkan keutamaan yang besar. Bagiamana lagi sahabat yang menghabiskan hidupnya bersama Nabi?
Sekaliber Abu Bakar as-Siddiq, orang paling mulia setelah Nabi. Sampai mendapat banyak kesempatan terlibat dalam momen penting umat ini. Digelari as-siddiq, karena yang pertamakali membenarkan risalah kenabian dikalangan laki-laki. Termasuk momen-momen genting,  seperti  menggantikan posisi Nabi tidur  ketika dikepung musuh. Saat berhijrah-pun ia kembali terpilih mendampingi Rasulullah.
Impian  itu pun terwujud, hingga akhirnya ia ditakdirkan dikuburkan di samping kuburan Rasulullah. Menjadi pendamping Nabi di dunia begitu mulia keutamaannya, bagaimana lagi akhirat kelak?
Bagaimana dengan kita yang tidak ditakdirkan bertemu dengan Rasulullah? Suatu ketika Beliau merindukan saudara-saudara-nya. Para sahabat ketika mendengar bertanya-tanya, “"Apakah maksudmu berkata demikian wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?” kata Abu Bakar. Beliaupun menjawab, "Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku (ikhwan). 
Sahabat lain pun mengatakan, "Kami juga ikhwanmu, wahai Rasulullah". Maka beliau bersabda, "Saudaraku ialah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku sebagai Rasul Allah dan mereka sangat mencintaiku. Malahan kecintaan mereka kepadaku melebihi cinta mereka kepada anak-anak dan orang tua mereka."
Mudah-mudahan kita termasuk di dalamnya. Kesempatan itu selalu ada. Jika kita tidak ditakdirkan bersama Rasulullah di dunia ini, maka jangan pernah lewatkan kesempatan di akhirat kelak. Sekali lagi, jangan sia-siakan kesempatan ini!
Lalu bagaimana kita bisa bersama dengan Nabi kelak?
1.      Mencintai Rasulullah
Tentu, untuk menjadi pendamping seseorang pertama kali kita harus mencintainya. Awal  dari kebersamaan adalah cinta. Bagaimana sedihnya, kelak bersama seseorang lantas kita sendiri tidak mencintainya. Atau sebaliknya, kita mengaku mencintainya, tetapi ia tidak menerima pengakuan itu. Mencintai Nabi tidak sekedar cinta asalan saja. Tidak sedikit orang berusaha mengungkapkan cinta Nabi, tetapi justru mendatangkan Murka Allah.
 Bukan cinta semu, tetapi cinta yag menembus ruang dan waktu. Itulah cinta yang sesungguhnya. Umar  pernah mendatangi Nabi, “Aku mencintaimu wahai Rasulullah tidak melebihi cintaku pada semua orang di dunia ini kecuali diriku sendiri”. Maka Nabi pun menjawab, “Belum sempurna keimananmu ya Umar”. Maka Umar-pun mengklrarifikasi, “Kalau begitu aku mencintaimu wahai Rasulullah melebihi cintaku pada diriku sendiri”. “Nah baru sekarang sempurna cintamu wahai Umar”.
“Kelak, seseorang akan bersama dengan apa yang dicintainya ”. Setelah tedengar hadits ini sahabat berkata, “Tidak ada yang membuat kami gembira melebihi kegembiraan mendengar berita ini”. Bagaimana mungkin mereka bisa meyamai  ibadahnya Nabi, Abu Bakar, Umar dan lainnya. Namun persoalan cinta,  mereka kelak tetap bersamanya di surga haya karena mencintai Nabi. Kata imam Syafi’i, “Aku mencintai orang-orang sholeh, dan aku bukan termasuk diantara mereka”.
2.      Menaati
Pengakuan Cinta  tidak sekedar  perkataan saja. Butuh pembuktian. Jika pembuktian butuh cinta maka cinta lebih butuh pembuktian. Sungguh disayangkan betapa banyak mengaku mencintai Rasulullah, namun disaat yang sama ia melanggar perintah larangannya.
Menaati Rasulullah sudah include ketaatan pada Allah juga, “Barang siapa yang menaati Rasul itu (Nabi Muhammad), sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (An-Nisa’: 80). Apalagi perintah,  "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisaa:59).
Menaati juga berarti menerima segala perintah larangannya. Bukannya mengambil apa yang sesuai hawa nafsu. ”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”(QS.Al Hasr:7).
Begitupula, “Seluruh umatku akan masuk al-Jannah (Surga) kecuali orang yang enggan. Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan?’ Rasulullah menjawab, ‘Barang siapa yang menaatiku, dia akan masuk al-Jannah, dan barang siapa yang bermaksiat (tidak taat) kepadaku, maka dialah orang yang enggan (yakni enggan masuk al-Jannah).” (HR. al-Bukhari)
3.       Memperbanyak Shalat Sunnah
Seorang budak Rabi'ah bin Ka'ab Ra yang beliau bebaskan. Hingga akhirnya berkhidmat pada beliau.  Sebagai tanda terimah kasih Rasulullah ingin memberinya imbalan,  "Wahai Rabi'ah, mintalah apa yang kau inginkan".  Maka  Rabi'ah berkata: "Wahai Rasulullah, aku ingin kelak bersamamu di surga".
 Kemudian  Rasulullah berkata lagi, "Adakah selain itu ?", Rabi'ah menjawab: " Tidak ada wahai Rasulullah, aku hanya ingin menemanimu di surga.  aku telah menemanimu di dunia maka aku ingin juga bisa bersamamu di akhirat".  Maka beliau-pun bersabda,  "Hendaklah engkau memperbanyak sujud” ( HR. Muslim). Memperbanyak sujud yang dimaksud dengan memperbanyak shalat sunnah.   

4.      Berakhlak baik
Tentu, ketika seseorang ingin bersama dengan orang yang paling mulia. Ia-pun juga harus mempunyai punya akhlak mulia. “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya.”(HR. Tirmidzi). Dan sebaik-baik akhlak, akhlak Rasulullah. Sampai Allah memuji, “Dan sungguh-sungguh engkau berbudi pekerti yang agung”(al-Qolam:4).
‘Aisyah pernah ditanya bagaimana akhlak Rasulullah, “Akhlak beliau adalah Al Quran”(HR. Muslim). Karena begitulah tugas beliau, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia”(HR. Ahmad).
            Tidak sampai disitu, beliau juga paling baik akhlaknya pada keluarganya. “Orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik dengan keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tabrani). Karena, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. At-Tirmidzi).
5.      Membantu Anak Yatim
Begitu dekatnya jarak Nabi sampai ia bersabda, Aku dan orang yang menanggung kehidupan anak yatim, kelak di syurga akan seperti ini,’ beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah beliau yang saling ditempelkan” (HR. Bukhari).

6.      Memperbanyak Salawat        
Salawat kepada Rasulullah hakekatnya kembali kepada diri sendiri. "Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bersalawat (memberi segala penghormatan dan kebaikan) kepada Nabi (Muhammad SAW); wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu kepadanya serta ucapkanlah salam sejahtera dengan penghormatan yang sepenuhnya." (Surah al-Ahzab :  56)
Apalagi, “Barang siapa berselawat kepadaku waktu pagi sepuluh kali dan waktu petang sepuluh kali , maka ia akan mendapat syafaatku di hari kiamat.“ (HR. Thabarani). Karena, “Orang yang bakhil itu adalah orang yang tidak mahu berselawat ketika menyebut namaku di sisinya.“ (Hadis Riwayat At-Tirmidzi).
Tentu, bersama dengan Nabi di surga kelak bukan berarti sama kedudukannya. Karena surga juga bertingkat-tingkat. Setidaknya kita akan dikumpulkan disurga kelak bersama Rasulullah.  Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa’: 69) .
 Muhammad Scilta Riska
( Buletin al-Fikrah edisi 13 Maret 2013)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Inspirasi

Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam as-Syaafi'i dll memang telah tiada di dunia ini.

Namun, ketika manusia membaca buku, tulisan mereka ...

"Berkata, Imam Bukhari, Muslim as-Syaafi'i rahimahumullah ..."

Saat itu pula seolah mereka masih hidup di dunia...

Msc_