Ketika membuat blog ada satu hal
perlu diperhatikan, “Nama blog sangat menentukan, setidaknya harus ada
brandingnya, ibarat produk maka harus punya ciri khas. Beda yang lain” pikirku.
Awalnya saya beri nama “Merangkai Kata Hati”. Tapi setelah search di Syaikh
google, ternyata sudah banyak yang gunakan. Untuk mengatasi kemarau inspirasi,
saya blogwalking mencari mana mana yang tepat. Dengan selang beberapa waktu
pencarian jati diri, saya pikir nama yang unik tidak ada dua-nya di dunia
ternyata
nama saya sendiri. Seperti halnya, tidak sedikit judul buku itu lahir
dari nama blog. Maka nama blog ini lahir dari penulis sendiri. ScienCe IhLas TAqwa.
Meskipun masih banyak kekurangannya, jujur saya orangnya bukan tipe desainir,
tapi pemikir sebagaimana mazhab golongan darah A. (kok lari ke gol darah..)
Kenapa dan Bagaimana?
ScienCe IhLas TAqwa, kalau dicermati sedikit tidak lain kepanjangan dari nama saya sendiri. Buka hal yang saya buat-buat, tetapi begitulah adanya. Bapak saya sendiri memberi nama seperti itu. Maka sering ketika diabsen atau pertemuan perdana belajar, disaat perkenalan, saya selalu dicurigai makhluk asing, sedikit sulit mengucapkannya. Namanya saja langka, saya cuman bilang itu singkatan. Bapak ketika itu terinspirasi ceramah seorang Ustadz. Entah kenapa, Cuma saya anakanya diberi nama singkatan kecuali Muhammad. Katanya, “Kalau ingin sukses dunia akhirat ini, cukup menggabungkan tiga kata ini. Bagaimanapun penafsiran tentang prinsip hidup, pasti kesimpulannya ilmu, ikhlas dan taqwa. Ibarat tauhid, ilmu itu tauhid rububiyahnya. Kita yakin dan percaya mengilmui bahwa Allah satu-satunya pencipta segala-galanya. Adapun pengejawantahan tauhid uluhiyahnya dalam bentuk ikhlas dan taqwa.
Inilah tiga prinsip pokok
kehidupan. Bagaimana kehidupan itu bisa terarah.
1.
Ilmu
Meskipun menggunakan kata science itu tidak menafikan sinonim
lainnya. Knowledge dan ‘ilm itu sendiri. Ilmu merupakan titik awal kita
mengenali hidup ini. Dan jika berbicara ilmu, maka hal yang pertama terbetik
dalam pikiran kita, mengenal Allah atau bahasa agamanya ilmu syar’i. ilmu syiar’I
akan sangat identik dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Keutamaan ilmu sungguh
banyak sekali. Cukuplah satu kisah ini, ketika jin hendak menggoda dua orang
manusia di dalam mesjid. Ia diberi dan ditanya dua pilihan, antara seorang ahli
ibadah lagi shalat. Dan seorang lagi ‘alim ulamaa lagi tidur. “Saya lebih suka
menggoda si ahli ibadah dari pada alim lagi tidur” koment Jin. Kenapa? Padahal si
alim tadi cuman lagi tidur nyeyak. Apa dibaliknya? Boleh jadi si ahli ibadah
tadi kerjanya shalat terus tanpa mengilmui apakah sudah benar khusyu’ tidak
shalatnya. Sebaliknya, boleh saja si alim sekedar tidur tetapi niatnya untuk
bisa kuat beribadah selanjutnya. Jadi passif income beribadah. Sebenarnya
seorang muslim seluruh hidupnya ibadah
kalau diniatkan ibadah. Makanya perlu ilmu.
Sebelum ke point selanjutnya, ada yang penting untuk maslah ini. Tidak sedikit
orang selalu menyuarakan, “Ilmu yang sesuai al-Qur’an dan as- sunnah”. Tapi lupa
pertanyaan, “Atas pemahaman siapa?”. Kan ini masalah pokoknya. Sumber tetap
sama kok bisa berbeda? Bukankah banyaknya aliran selalu saja mengatakan
sumbernya al-Qur’an. Jadi yang salah al-Qur’annya atau orangnya? Jelas yang
menafsirkan sendiri, pemahamannya berbeda. Jadi atas pemahaman siapa? Syekh,
Pak kyai, Ustadz atau guru ngaji?. Yah harus pemahaman as-salafus shalih, bukan
taklid buta.
2.
Ikhlas
Oarang sering sebut ini self-actualization. Sebenarnya, yang bisa ikhlas
itu cuman orang muslim saja. Coba lihat umat lain ada tidak terjemahan kata ikhlas.
Bagaimana ikhlas sebenarnya. Ini mungkin
cukup menjawab sebab kisah tadi, boleh jadi si ahli ibadah tadi beramalnya
tidak memenuhi syarat berkas penerimaan, ikhlas dan mengikuti contohnya. Artinya
tidak asal beramal saja tanpa punya ilmu. Terutama ikhlasnya niat. Sufyan at-Tsaury
mengatakan, “Tidak ada yang sulit bagiku daripada meluruskan niatku”. Makanya
setiap memberi nasehat, tips hal paling pertama disebutkan ikhlas dalam niat. Mau
belajar bekerja dan seterusnya. Bagaimana caranya kita bisa ikhlas kalau tidak
berilmu? Mustahil! Ulama bahkan bertahun-tahun menuntut ilmu hanya untuk belajar
bagaiman bisa ikhlas. Maka pondasi awal, ilmu sangat menentukan dengan
perangkat ikhlasnya.
3.
Taqwa
Terakhir, ketika kita sudah berilmu dan ikhlas itu belum cukup. Karena banyak
ayat perintah beribadah ujung-ujungnya akan diaktakan “laalakum tattaqun”. Seperti
perintah puasa misalnya, “Agar kamu bertaqwa”. Inilah puncak ibadah kita. Ilmu-ikhlas-taqwa
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Bagaimanapun berilmu dan ikhlasnya
anda beramal, tanpa bertaqwa tidak juga mencapai titik kesempurnaan. Begitupula,
berilmu untuk bertaqwa tidak cukup tanpa keikhlasan benar-benar karena Allah. Dan
bagaimana mungkin bisa seseorang menjadi pribadi taqwa dengan penuh keikhlasan tanpa
didasari ilmu yang benar?
Maka mudah-mudahan tulisan singkat ini sudah cukup mengobati rasa
penasaran kita, kenapa musti saya menamakan, ScienCe IhLas
TAqwa. Imam bukhari saja untuk menulis buku shahih-nya punya asal-usul,
tidak kebetulan dan memang petunjuk Allah azza wa jalla. Apalah arti sebuah nama kalau kita tidak mengetahui
backgraund-nya. Ia akan berarti ketika kita memaknai. Sekedar muqaddimah saja,
dilain waktu akan kami jabarkan tiga kata tadi dalam berberapa judul. Wallahu ‘alam
waliyyu at-taufiq.
24 January 2013
0 komentar:
Posting Komentar