eramuslim.com/oase iman
by: Muhammad Scilta Riska
Setiap
zaman pasti punya peradaban tersendiri. Dan kita adalah anak-anak peradaban
tersebut. Hidup di zaman modern serba canggih. Dunia yang luas memang terasa
begitu dekat. Terlebih lagi akses informasi. Kita bisa mengetahui, menanyakan, bertatap
muka langsung dengan orang di bumi timur, sementara kita berada di ujung barat
dalam sekejap pandangan. Padahal sedetikpun tak pernah melangkahkan kaki
kesana. Hanya rasa berima dunia maya. Begitupula perjalanan dari satu negeri ke
yang lain juga tak membutuhkan waktu berhari-hari seperti orang dahulu bahkan
hanya berbilang jam. Dan semua fasilitas serba teknologi membuat kita tak perlu
mengeluarkan energi ekstra untuk suatu pekerjaan yang berat.
Tak
dipungiri di balik kelebihan zaman ini, selalu saja terselip kekurangan.
Seolah kita memang harus menempuh seperti sediakalanya untuk mencapai
kesuksesan itu sendiri. “Umat ini tidak akan jaya kecuali seperti apa yang
menjayakan umat terdahulu” kurang lebih seperti itu kata sahabat. Contoh sederhana,
kita mungkin tak menyangka ketika lahirnya mesin penghitung bernama kalkulator.
Justru mengurangi daya berfikir seseorang terutama dalam hal menghitung.
Lihatlah para pedagang untuk menghitung hal sekecil 41-14 pun harus menghubungi
kalkulator. Mungkin salah satu alasan terpenting adalah menghemat waktu karena
banyaknya pembeli. Tetapi bagaimana kalau itu sudah menjadi kebiasaan, bahkan
menghitung angka yang kecil tidak membutuhkan waktu terlalu lama sampai harus
berkalkulator.
Contoh
lain dalam hal belajar bahasa arab dan lainnya, kita akan mendapatkan perbedaan
bagaimana mencari arti kosa menggunakan kamus dengan hanya search di software
laptop. Seperti kamus al-Munawwir yang agak tebal, mungkin membutuhkan waktu
sedikit lama dari pada sekedar meng-enter al-Munawwir di laptop. Sama-sama
kamus al-Munawwir, tetapi anda akan menemukan perbedaan. Entah ingatan lebih
tajam menggunakan Kamus itu sendiri karena harus sedikit menguras tenaga dan
pikiran membuka lembaran-lembaran hingga dapat. Atau lebih cepat lupa karena
nantinya tinggal kilk saja di laptop. Dan masih banyak perbedaan tentunya.
Kerja
keras tentu sebanding dengan pahalanya. Inilah salah satu alasan mengapa ulama
terdahulu lebih berberkah ilmunya ketimbang kita di zaman modern ini. Lihat
saja bagaimana mereka menuntut ilmu.
Sa’id bin al-Musayyad harus berjalan berhari-hari dan bermalam-malam
untuk mencari satu hadits. Sementara kita hari ini tak perlu seperti itu, cukup
berdetik-detik di depan ‘maktabal qubraa’ mengklik dan meng-enter.
Hadits yang didapat bukan hanya satu bahkan seribu pun bisa.
Imam
Bukhari harus pergi menemui para ahli hadits yang ada di penjuru dunia. Dia
belajar ke Khurasan, pegunungan, Irak, Mesir dan lainnya. Dan kita tak harus
keliling dunia menemui mereka satu persatu. Tetapi sekali lagi pengorbanan kita
menuntut ilmu juga tak harus sekaliber Imam Abu Zakarya Yahya bin Ma’ain.
Menghabiskan satu juta dirham hanya untuk mencari hadits hingga tidak ada yang
tersisa, kecuali sendal yang melekat. Bahkan dengan lahirnya Medinah International University (MEDIU),
kuliah bisa online. Kuliah jarak jauh, dan tetap tinggal di daerah
sendiri. Orang bisa bertatap langsung dengan para Masyaikh lewat dunia maya
tanpa harus hadir di majelisnya.
Sekali
lagi, Allah telah menganugrahkan begitu banyak nikmatnya. Terutama kita lahir
di zaman modern dengan segala fasilitasnya. Orang tidak perlu susah-susah
mencari ilmu sampai harus berjalan berhari-hari. Tetapi apakah memang kita
sudah benar-benar menggunakan segala fasilitas itu untuk menuntut ilmu dengan
baik. Belajar, menghafal dan mengamalkan ilmu yang suduah dipelajari. Ataukah
justru terlena dengan kenikmatan dunia. Bahkan menjadi malas mempelajari agama
Allah karena semua serba ada.
“al-jazaau jinsil ‘amal”. Apa yang yang kita
usahakan akan sebanding dengan berkah yang kita dapatkan. Jangan sampai kita
termasuk orang-orang yang kufur terhadap nikmatnya. Justru menganggap remeh
mencari hadits di ‘maktabah qubraa’. Karena hanya meng-klik kata yang
dicari saja. Padahal ulama dahulu harus berjalan berhari-hari hanya mendapatkan
satu hadits saja. Atau Imam Bukhari harus membatalkan niatnya mengambil hadits
pada orang yang tiba-tiba diliatnya menipu binatang. Dan berpindah seterusnya
sampai benar meyakini kebenarannya. Mereka harus bekerja keras mencari, bahkan
mengkaji keshahihannya.
Seperti
yang disabdakan oleh Rasulullah sallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah yang aku
takutkan diantara kalian karena kemiskinan, tetapi terbukanya dunia bagi
kalian’. Lihatlah tidak sedikit orang mau ke perpustakaan untuk sekedar membaca
buku dengan alasan semua sudah ada ebook-nya. Atau mencari referensi, hnaya
dalihnya karena sudah ada perpustakaan lebih canggih dan besar bernama google. Tetapi
saksikanlah berapa banyak orang yang sanggup membaca menamatkan buku di laptop atau
komputernya. Mereka hanya sibuk mengumpulkan file-nya. Setelah itu hanya
koleksi penambah ukuran memori hardisk.
Harusnya
kita yang hidup di zaman ini lebih banyak menyerap ilmu. Segala bidang ilmu
sudah terbuka luas. Tinggal memilih apa yang sesuai kebutuhan. Bahkan kita juga
tidak perlu lagi membutuhkan banyak waktu untuk mengumpulkan satu persatu
hadits maupun riwayat. Semua sudah ditulis lengkap oleh para ulama. Tidak ada
kata untuk terus dalam kebodohan.
Dunia
yang terbuka lebar jangan sampai membuat kita terlena dan melupakan akhirat.
Apalagi untuk sekedar mempelajari, menghafal, mengamalkan, serta medakwahkan
ilmunya. Kita tidak memungkiri segala
kemudahan fasilitas menuntut ilmu. Tetapi pertanyaanya kemudian, apakah kita
memang benar-benar bisa menggunakannya dengan baik?
Akankah lahir ulama di tengah
bergelimangnya teknologi modern dengan segala kemudahannya?. As-syafi’I
Rahimahullah berkata, “Tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu, kecuali
orang yang menuntutnya dengan keadaan serba kekurangan. Aku dahulu untuk
mencari sehelai kertas pun sangat sulit”. Msc_
0 komentar:
Posting Komentar