Social Icons

Pages

Keputusan diantara Kesetiaan



By: Muhammad Scilta Riska



(Cerpen ke 4)

“Teman akan selalu setia disisimu, asalkan….
Ya! kenapa disaat-saat kritis aku membutuhkan teman,
Mereka  justru tidak ada!
Betulkah jika dalam kesepian,
Aku  ingin sendiri.
Pergi kau! Pergi…!
Tinggalkan aku disini..
Sahabat tetap bersamaku …
Pergi!!! Ia malah menghampiriku…”

“Kenapa engkau begitu murung? Adakah aku berguna buatmu?” sahutnya.
“Tidak! Aku akan segera mengakhiri hidupku!!!” jawabku.
“Tidak pantaskah kau menganggapku sahabatmu, tak mungkin kubiarkanmu begitu saja” negonya.

Kata-kata itu selalu bergentayangan dalam pikirku. Selama ini aku hanya memperhatikan nafsu, melaratkan sahabat. Betapa ridhonya ia menolong disetiap permasalahan hidupku. Ironisnya aku baru datang mengemis solusi, dikala tertimpa sudah, maafkan khilafku!
Aku harus segera mancari sahabat itu kembali. Di manakah kau? Masih bernyawakah??
“Bukan itu maksudku kak Raf!” pinta Widya menjelaskanku tujuh arah mata angin.
“Lalu???” asa-ku mulai merenggang. Dia adik kelas. Mungkin perkenalan MOS membuatnya bersahabat denganku.
“Aku ingin menjadikan kakak lebih dari pada sahabat” rinciannya to the point.
“Ah tidak! Sku hanya ingin mencari sahabatku sejatiku. Apa ini disebut penantian sahabat, justru cinta yang hadir” gumamku.
“Baiklah. Aku hanya bisa mencintaimu dalam keheningan. Cintai aku dalam diammu! Dlaam kata-kata memulai perpisahan.
Sebentar lagi Senior High School-ku akan expayer. Tinggal menghitung jari pengumuman UN> aku harap ia mengerti akan semua persahabatan ini.
“Cinta tak selamanyaharus memiliki. Tapi milikilah cinta itu” perang batinku.
“Kenapa kakak tak mau mencintaiku???” bentaknya.
Kata-kata itu selalu membuatnya penasaran. Bertanya kepada siapa saja. Kenapa tiba-tiba aku harus berubah  arah padanya. Padahal memperhatikannya dulu adalah harapannya.
“Aku mencintaimu dalam diam!!!” kalimat mantra selalu kusandarkan ketika bertemu. Tak sanggup ku-bayar labih dari itu.
“Kenapa??? Gerutunya. Gelora dalam dirinya tak sanggup diikat. Begitu beku rasa simpati itu. Hingga tak bisa dianalogikan meskipun dengan persamaan sederhana.
“AKu belum halal untukmu!” jawaban hemat kata setahuku selama ini. Haramkah ia untukku? Hingga kata-kata ini selalu kutujukan padanya.
“Halalkan aku!!!” pintanya seribu diam. Seolah api neraka telah menamparnya. Ku harap membedakan adam, hawa, nafsu, hasrat dan cinta ia sudah bisa.
“Senter tak cocok di tengah siang bolong” sindirku. Kita memang harus menjadi tua. Dewasa hanyalah pilihan. Akan lebih bijak masa muda itu menggoreskan darah di atas batu. Daripada tua, menorehkan emas di atas air.
“Lalu kapan???”  segera ia mengambil jalan pintas. Mendapatkan jawaban pasti dari yang tak pasti. Mengakhiri segala lamunan, menembus ruang waktu. Lamakah? Cepatkah? Sesuatu yang pasti jika sudah banyak bergores jejak. Itu artinya lebih dekat lagi.
“Tunggu aku sampai pulang!!!” ah itu hanya lelucon buatku. Sanggupkah ? sabarkah ia dengan penantian ini. Ku-pasrahkan jika akhirnya memilih jalan lain. Jalanku ke perantauan kota, mencari harta warisan Nabi. Menelaah bahasa Al-Qur’an. Kelak bisa kuberi setitik cahaya kaum ini. Mendefinisikan kebenaran disegala sendi nyawa. Ah! Akankah? Maafkan aku jika harus berpisah sementara, kelak berkumpul selamanya!!! ***

(akankah Rafly kembali meminjam kesetiaan Widya?)
Lima tahun sudah perpisahan ini kujalani.  Hanya  keyakinan selalu menemani membuatku tegar segala ketetapanNya. Diam-diam ternyata dia mengikuti jejak-ku. Hanya beda perguruan, tujuan sama. Bukti empiris kau masih setia. Tapi kubuktikan sendiri. Aku bersembunyi  darimu. Sengaja ku pergi jauh-jauh. Menghapus segala kerinduan. Membakarnya dengan gerak waktu.
“Assalamualaikum, kak Rafly?
“Iya, Waalaikum salam…
“Bagaimana kabarnya???”
Suara asing mengingatkanku masa lalu. Ah tidak kupastikan nomor handphone-ku berganti tujuh kali. Tak ada yang mengetahui kecuali keluarga atau teman kampus.
“Iya. alhamdulilah be khair! Kalau anda? Tapi maaf siapa ini??? Balasku memastikan.
“ Alhamdulillah juga kak. Saya Widya!!!”
Kata terakhir itu seolah mengguncang jantungku. Berdetak lebih cepat dari jarum jam. Kenapa nama itu hadir kembali dalam hidupku.
“Oh. Widya. Dapat no-ku dari mana??” aku berusaha membungkus pengembaraanku selama ini. Berharap ia tak mengingkitku lagi. Tapi kenapa ia menghubungiku?? Ada apa?
“Saya keliling 7 benua. Orang ke orang mencari DPO!!! Heee” candanya. Tapi bisa kurasakan. Dia menyindirku. Gara-gara- aku dicari. Aku bisa menangkap marahnyawalaupun itu berbentuk senyuman.
“Oh iya, kamu sudah selesai kuliah??” balasku mengalihkan perhatiannya.
“Iya kak. Akhir tahun ini akan diwisuda” jawabnya.
“Kakak sendiri..??? lanjutnya.
Tidak. Perangkap seperti ini membuatku trauma. Pasti ujungnya dialihkan juga akan…
“Aku ambil Master. Sebentar lagi final semester dua” hematku.
“Bolehkah aku menanyakan sesuatu pada kakak??!” to the pointnya
Mudah-mudahan  hanya  firasatku saja. Akankah ia menagih harapnya. Membayarnya disini juga ataukah justru ia hanya ingin mengatakan ucapan terima kasih.
“Ya. Silahkan, katakana saja!!!” aku sudah memasrahkan semuanya. Sudah!!! Aku tak mau mendengarkannya.  Itu hanya menambah memory batinku. Semua akan berakhir.
“Aku akan segera menata hidup baru!!!.
Oh tidak. Tak ingin kusimak lanjutan ceritany. Pencampuran sedih dan gembira adalah masa-masa tersulit bagiku. Mau dicampur pakai bumbu apa. Kelak rasanya tidak juga terlalu manis. Tak juga pahit. Sudahkah mahkota lain  berlabuh di pelabuhan jiwanya.
“Semua  bergantung sandaranny. Keputusan ada ditanganku. Tetapi…” potongnya.
Sudah kurasakan gerbang baru dibenakku. Hari ini aka nada cerita baru.
“Tetapi aku akan mempertimbangkannya kembali. Aku ingin managih keputusannmu. Aku sudah banyak mengenalimu. Kau-pun juga lebih banyak tahu tentangku. Kita sudah sama-sama mengerti akan hal yang sacral ini” lanjutnya.
“Maafkanlah. Aku tak bisa mengambil keputusan detik ini. Beri aku  waktu sampai selasai final-ku.
“Tapi aku butuh jawaban sekaranga kak. Sudah terlalu lama aku berlabuh di negeri entah berantah dimana akan bersandar!!!”.
“Berapa waktu yang kau pinjamkan untukku ???”. balasku bernegosiasi.
“Selesai wisudah-ku di purnama ketiga. Karena aku juga berjanji padanya waktu yang sama, member keputusan menunggu keputusanmu” syaratnya.
“Baiklah. Semua akan tunduk patuh pada keputusanNya.”
“Kesetiaan adalah perbendaharaan hidup yang termahal. Jika kau mengikatnya. Janji tak kaan melantarkanmu” bisikku.
“Aku juga kagum padamu, Kak Raf. Laki-laki yang bisa menenun sendiri kesetiaannya. Peganglah erat-erat, janganlah kau lepaskan meskipun sedetik. Keputusanmu sungguh telah membayar sekian penantianku.
“Ich Liebst du!!! Akhirku.

Makassar, 23 September 2011


Cerpen ini adalah kado teruntuk sahabatku di Lampung. Dari sekian curhatan isi batinnya padaku. Akhirnya juga membuat keputusan baru dalam hidupnya. Memimpikan, meraih dan memegang kesetiaannya. Hingga mampu menggugah, menginspirasiku memahami arti sebuah hidup bersama kesetiaan. Diam-diam juga ku-bungkus dalam cerpen kelak menjadi hadiah terindahnya. 

  




0 komentar:

Posting Komentar

 

Inspirasi

Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam as-Syaafi'i dll memang telah tiada di dunia ini.

Namun, ketika manusia membaca buku, tulisan mereka ...

"Berkata, Imam Bukhari, Muslim as-Syaafi'i rahimahumullah ..."

Saat itu pula seolah mereka masih hidup di dunia...

Msc_