Social Icons

Pages

Bintang di Bawah Baruga



(Cerpen ke 3)

“Menjadi bintang adalah keharusan
Menjadi bintang dunia adalah pilihan” Msc_

Hari ini adalah pekan ke-2 dari 21 hari karantina finalis IOAK (International Olympid Astronomical Kabupaten) SMA-sederajat. Entah kenapa pertolonganNya selalu saja datang di menit-menit kritis. Aku tidak tahu kenapa bisa lolos ke tingkat provinsi hingga Nasional. Padahal “passengrates” saja harus berduel dengan sekolah unggulan kota ini. “Huft senja dari tadi menunggu datangnya bintang, disusul purnama”. Tatapku penuh Tanya sambil menikmati udara dingin di atas bangunan tinggi.
Mungkin kebanyakan orang  menganggap ini sebuah kemustahilan. Tapi bagiku  akal manusia-lah yang mustahil bisa memikirkannya! Bagaimana tidak, aku baru duduk di semester dua Senior High School, sementara soal-soal olimpiadenya menyangkut pelajaran kelas dua-tiga. Barangkali itu juga tantangannnya, kenapa banyak siswa trauma dengan yang namanya astronomi. Lihat soalnya saja sudah “kedinginan”. Tidak jelas mana yang harus dipelajari. Dibilang fisika bukan juga karena ada geografinya, apalagi soal matematika-nya. Lebih-lebih soal kadang berbahasa inggris. Pokoknya segala ilmu akan dicampur bareng hingga membawa kita ke luar angkasa. Jadi wajar kalau teman-temanku  lebih cenderung memilih disiplin ilmu lain ketimbang bercengkrama dengan istilah-istilah “mahkluk alien” sama sekali tidak pernah dilihat langsung bendanya. Menghafal rumus-rumus, satuan bintang sampai harus “berimajinasi” tinggi.
Aku hanya bergumam, “Astronomi  memang bikin ribet, membuat orang melayang-layang mengelilingi jagad raya”.  Kalau kimia or fisika sekaliber biologi mungkin prakteknya bisa di dalam Laboratorium. Jika uji percobaan dengan variable-variable tertentu itu sih fun-fun aja.  Sebut saja hubungan gaya , massa dan percepatan. Ataukah gaya magnet antara 2 buah benda Q1 dan Q2 berbanding terbalik kuadrat jarak keduanya. Boleh juga dibuktikan dengan mengubah dan menambahkan variable-variable jarak keduanya, contoh real-nya dua insan berlainan jenis. Gaya tarik menarik (Q1 & Q2) dipengaruhi kuadrat jarak keduanya dikali konstanta hawa nafsu setannya. Semakin jauh jarak antara keduanya maka gaya tarik-menariknya pun semakin kecil, begitupula sebaliknya. So pasti  untuk menghindari  “jalinan“ berlebihan itu harus dijaga jaraknya.
Di astronomi Lab-nya diluar angkasa. Cukup meneropong  aja ke bintang-bintang atau planet, bagaimana jaraknya, or sekedar meneliti bahan kimia penyusun materialnya. .itu sih gampang kalo bicara soal jarak. Bagaimana kalau bicara soal massa dan berat. Mungkin saja uji Lab. Fisika  cukup kita menambahkan ataupun mengurangi berat bebannya, tapi? kalau astronomi praktek, apa bisa kita mengubah-ubah berat bumi, massa planet agar bisa diambil percobaannya. Memegang bumi saja kita tidak bisa, apalagi mau mengangkatnya. Tentu soal astro lebih banyak “seandainya, andaikan or umpanya”. Makanya penghayal ulung ilmu pengetahuan itu-lah astronomi. Kita harus membayangkan sedetail mungkin. Namun dari situlah juga aku belajar  bagaimana menghubungkan antara imajinasi dengan logika.
Ketika pengumuman itu tiba, diminta untuk mewakili sekolah, aku hanya tersenyum mengangguk bermodal optimis meskipun ada seribu kekurangan dibaliknya. Tak peduli bagaimana ngeri  kejamnya soalnya, hadapi saja! ulama dahulu juga banyak ahli falak, berarti ini bukan barang baru, tinggal meneruskannya. “Bagaimanapun aku harus optimis, hadapi dengan kerja keras, tak perlu cemas dan tergesa-gesa” tancapku.
***
“Yat!!!”
Tiba-tiba aku kaget, berhenti dari lamunannku. Sepertinya amplitudo suara yang ku-kenal dari arah belakang elongasi.
“Iya ada apa??” balasku sambil mengubah posisi 180 derajat.
“Apa yang kau lakukan disini sendirian??” kata Han memulai pembicaraaan.
“Tidak, aku tidak sendirian. Aku hanya  ingin menikmati malam ini bersama Miliyaran bintang-bintang”. Aku harap ia cepat mengerti dengan usiranku ini, meninggalkanku sendiri di pijakan horison.

“Oh, tak kusangka kau juga menyukai bintang. Tapi bukankah jam 10 malam ini kita masih ada tambahan bimbingan dengan Pak Jaya” ucapnya sambil membetulkan jam tangannya. ternyata sindiranku tidak ampuh, justru ia menghampirkui untuk ngobrol.
“Ti..Tidak. aku lelah. Seharian tadi sudah memeras otak. Kita juga butuh refreshing”. Sahutku.
“Padahal lusa-kan kita sudah seleksi Nasional Yat!!” cemasnya.
“Biarlah, tadi aku sudah minta izin pada beliau” balasku.
“Baiklah kalau begitu” jawabnya sambil mengatur posisi sebisa mungkin melihat bintang dengan fluks yang terang.
Aku cuek saja, entah apa yang mau ia lakukan disini. Aku lelah sambil merebahkan badan pada pagar besi  lantai teratas baruga hotel ini, menerawang gemerlapnya eliptika malam.
“Aku mau bertanya, bolehkah???.
“Iya, asalkan jangan bertanya kapan hari kiamat!!” candaku.
“Yach malaikat aja nggak tahu, begini….” Ucapnya memecah keheningan dengan sedikit pancaran magnitudo.
“Kenapa kamu begitu suka memandangi benda-benda angkasa itu?” Tanyanya penasaran.
“Hmmm… karena bagiku bintang adalah sesuatu yang indah sengaja diciptakan di Jagad raya ini, bukti betapa Maha Besarnya Allah hingga menjadikannya indah bagi hati yang memandangnya”. Ucapku memberi gambaran.
“Oh begitukah!!! Lanjutnya. Seolah setengah percaya kalo Pluto itu akhirnya dikeluarkan dari planet Sembilan.
Aku sudah mulai curiga, bagi Rehana menyebut kata-kata Iman di tengah Sains tak terlalu ia paham. Rehana adalah teman yang tak sengaja ku-kenali semenjak awal karantina ini. Kami sama-sama perwakilan provinsi. Kedua orang tuanya bercerai setelah pertengkaran besar di rumah tangganya. Sangat sulit menyatukan 2 pikiran yang berbeda. Hingga masing-masing menjalani hidup.  Ia menjadi broken-home semenjak SD. Langsung saja dikirim sekolah di luar kota. Jadi sedikit sekali mendapatkan pendididkan langsung dari kedua orang tuanya, terutama pendidikan agama. Ia hanya mengerti sekitar rukun islam dan iman saja. Mungkin ini juga akibat beban pikirannya tak rela menghadapi kenyataan hidup harus berpisah orang tua seolah membuatnya putus asa.
                 Tetapi akhir-akhir ini aku mulai melihat ada perubahan dari dirinya, mulai tingkah laku, cara berfikir sampai membatasi pergaulan. Itu tidak lain, disetiap belajar bersama teman lainnya, aku berusaha menyelipkan dalil – dalil Al-Qur’an menyangkut Astronomi dari buku-buku agama. Hingga ia cukup tertarik berdiskusi lebih jauh mempelajari islam lebih dalam lagi. Ia baru sadar kalau prinsip hidup selama ini, asalkan hati bersih semua akan baik-baik saja, tanpa harus menjadi penganut agama yang ekstrim bertolak belakang. Sempat aku berdebat mengenai hijab, dia beranggapan kalau hati sudah bersih, tidak perlu memakai jilbab segala, “Banyak kok orang pakai jilbab tapi hatinya tidak bersih! Toh jilbab hanya mode dan budaya Arab. Di daerah gurun pasir kan panas dan berdebu” tandasnya seolah deburan komet.
“Kalau ini sekedar mode atau budaya, kenapa musti diperintahkan dalam Al-Qur’an. Dalam beragama itu tidak boleh mengandalkan akal saja, kita hanya mengambil jika sesuai dengan hawa nafsu. Padahal wahyu itu harus didahulukan dari ra’yu. Aku hanya membacakan surat An-Nisaa bagaimana wanita-wanita dahulu ketika turun perintah berhijab, tanpa banyak tanya mereka langsung menarik kain-kain lalu ditutupi badannya. Ini jelas bukan budaya Arab, karena sebelum islam datang orang jahiliyah justru tidak menutup aurat. Kalaupun itu sekedar penangkal panas, kenapa laki-laki tidak disuruh memakai jilbab atau cadar! ”  jawabku pada titik kulminasi tinggi.
Hari ini memang kebanyakan muslimah tidak menutup aurat. Padahal mereka semua mengaku islam. Agama “KTP” kata orang. Padahal di Negara-negara Eropa dan Barat, orang yang baru masuk islam harus berjuang keras demi menjalankan syariat y6ang satu ini. Belum lagi Negara yang mengharamkan memakai busana muslimah. Ironisnya di negeri mayoritas muslim justru mengingkarinya.
Setidaknya sedikit demi sedikit ia mulai sadar akan jati diri sesungguhnya. Mengubah pola pikirnya. Terlihat jelas dua pekan terakhir ia sudah “membungkus” rapi dirinya, pakaian yang tidak lagi “you can see” atau rok mini pendek. Seperti pertama kali ketemu. Aku menyangka ia benar-benar non-muslim. Tak ada tanda-tanda dari penampilannya apalagi sekedar untuk shalat dispasi  jam bimbingan. Aku baru tahu dia muslim saat memperlihatkan kartu  identitasnya. Sempat aku kaget kalau lomba seleksi nanti ia akan memakai jilbab, sungguh tekad yang kuat.
***
“Apa lagi yang membuatmu tertarik dengan bintang? Tanyanya lagi.
“Buatku bintang adalah karunia Allah yang indah untuk dipandangi” sembari ku perlihatkan pocket Al-Qur’an-ku Surah at-Thur ayat 16
“Dan sungguh kami telah menciptakan gugusan bintang di langit dan menjadikannya terasa indah bagi orang yang memandangnya”

“Ternyata benar ya apa yang dikatakan al-Qur’an itu. Aku baru sadar kenapa setiap kali melihat bintang hatiku terasa sejuk. Tapi itu hanya kenangan semu kecuali aku merangkai asa sembari menatap mahluk langit itu bersama teman-teman kecilku dulu. Bintang buatku adalah teman curhatku. Disaat tidak ada lagi setia menemaniku disetiap malam. Semenjak orang tuaku bercerai. Aku rasa hidup hanya sendirian kuharap mereka berdua bisa menyatu seperti halnya bintang-bintang yang bertaburan bersatu dalam rangkaian irama hidup meskipun mereka berjauhan” lirihnya sambil menghela nafas panjang.
“Iya betul katamu” jawabku seolah ikut merasakan pahitnya hidup.
“Tapi aku rasa ada yang kurang dari hidup ini, aku tidak seperti kamu, setiap melihat bintang kamu  teringat akan Sang Pencipta. Begitu kecilnya dirimu dari sekedar dihadapan bintang ciptaanNya. Aku sendiri tak pernah menyadari apalagi memikirkan hal seperti itu. Hidup di lingkungan materialistik, apa-pun yang ku mau akan dipenuhi keluargaku”. Terangnya seolah melihat asa di panjang gelombang pendek.
“Kamu suka juga melihat bintang, Han? Cetusku untuk mengalihkan rotasi perhatiaannya.
“Iya, setiap orang punya cerita suka dan duka tersendiri bersama bintang” balasnya dengan radiasi rendah.

“Aku ingin menjadi seperti bintang, memiliki cahaya sendiri, tak seperti planet yang hanya jadi “reflector”. Memberi cahaya kehidupan. Kelak aku tak lagi bergantung pada orang lain. Terpenting bisa menyatukan kembali kedua orang tuaku, membahagiakannya”.
“Kalau kamu??” gema penuh harapnya.
“Aku juga berfikiran seperti itu, menerangi tanpa harus menunggu “feedback” dari orang lain. Apalagi hidup di jaman serba materialistik sekarang, susah mengikhlaskan niat. Tak seperti lilin, menerangi tapi ia sendiri telah memusnahkan dirinya” yakinku pada garis edar kehidupan.
“Lihat bintang kejora itu” tunjuknya.
“Menjadi bintang kejora adalah impian hidupku. Aku bisa menghadirkan miliyaran bintang-disetiap malamku, tapi satu bintang kejora itu sudah cukup men-cahayai  seluruh mahkluk dunia” lanjutnya.
“Tapi…” kataku
“Kenapa???”
“Bintang itu butuh kegelapan, disaat kita memilih menjadi bintang akan banyak terpaan kegelapan. Semakin gelap selaksa hidup itu, maka cahaya kita justru semakin terang. Impian, gagal, sukses, sedih dan gembira adalah satu paket hidup yang tak dijual terpisah” Imbuhku.
“Bukankah begitu juga Yat, warna pelangi itu muncul disaat panas cahaya matahari dan hujan bersatu” tambahnya.
“Aku harap suatu hari nanti kita bisa ke luar angkasa sana melihat langsung bintangnya. Membuktikan pada dunia kalu kita memang sang bintang sejati” kataku menutup pembicaraan.
“Astagfirullah, Han!!!” kulirik jam tanganku sudah pukul 11.45 pm.
“Kita istirahat dulu, dari tadi purnama merengguk menanti fajarnya” ujarku
“Iya Yat, aku tak menyadari waktu. Nanti ceritanya dilanjut ya, malam ini seru sekali! Padahal besok lusa seleksi sudah dimulai, harus punya tenaga ekstra buat persiapan olympiade nanti.” Kata terakhirnya menutup pembicaraan.
“Assalamualaikum…”
“Wa’alaikum salam” balasku.
***

“Ya Allah mudahkanlah kami menghadapi olympiade. Kemudahan menjawab soal-soalnya. Jika kami tidak bisa menjawab maka berikanlah petunjukmu. Agar kelak kami bisa mengharumkan nama baik orang tua, guru dan sekolah kami. Berikanlah yang terbaik”
Selesai shalat subuh aku segera membuka al-Qur’an membaca se-Surah an-Najm. Surah bintang. Lalu melirik sedikit ringkasan materi olympiade. Pukul 7.30 am aku bergegas ke tempat karantina untuk berkumpul bersama teman lainnya menuju tempat lomba. Jam 10 pagi ini seleksi dimulai.
“Hallo, Assalamualaikum Yayat !!! suara berkecepatan cahaya saat ku angkat handphone-ku.
“Wa..Waalaikum salam, Iya, ada apa?” Aku berusaha tetap tenang.
“Cepat kesini, baruga hotel tempat karantina!!!”
“Trus???” 
“Rehana kecelakaan!!!” suaranya seolah meteor jatuh.
“Hahh!!! Kapan???”
“Tadi pagi sewaktu ia dibonceng tiba-tiba disenggol mobil”.
“So…?” khawatirku berkecamuk.
“Dia sudah dibawa ke hospital, cepat kesini ya, saya tunggu kamu!!”
“Ok! aku segera meluncur kesana”.
 “Ya Allah, begitu cepat takdir terhadap hambamu. Mudah-mudahan rehana baik-baik saja” gumamku dalam diskusi batin.
***
Sesaaat kemudian kami bergegas ke ruang UGD. Menyusuri parkiran dan teras rumah sakit. Di depan pintu ruang tunggu, tampak jelas pembimbing kami Pak Jaya, sepertinya ia lebih cepat berevolusi. Beberapa teman juga sudah mulai berdatangan.
“Untung kalian semua cepat membawanya” jelasnya dengan mata berkaca-kaca.
“Tapi bagaimana dengan Rehana Pak?” tanyaku menghampiri  dari tadi mondar-mandir mengacak-acak handphone. Mungkin ia mencari nomor keluarganya.
“Dia sekarang tidak sadarkan diri, do’akan mudah-mudahan cepat pulih kembali” jawabnya penuh cemas.
Kami semua hanya duduk ditengah keheningan, berharap dokter cepat memberi kabar.
“Bagaimana, dok” kata Pak Jaya menghampiri.
“Keadaannya sudah sedikit membaik, dia lemas sekali perlu banyak istirahat. Luka di bagian tubuhnya sudah kami perban. Masuklah beri ia semangat. Sepertinya ia juga mengalami beban strees” tukasnya sambil berjalan mengambil arah lain.
Teman-teman perempuan lebih dulu masuk. Aku hanya duduk termenung di horison bangku.
“Yat, sepertinya Han mau bicara denganmu. Ia sudah mulai sadarkan diri. Please…!” kata Rina menghampiriku.
 “Tapi… aku bukan siapa-siapa baginya” tolakku pada Rina
“Masuklah siapa tahu kamu bisa menyemangatinya, mungkin ini adalah permintaan terakhirnya. Lagi pula dia anggota tim-mu. Jika malu saya siap menemani”
Aku tak menyangka kali ini kami kehilangan satu anggota tim olympiade  provinsi nanti. Padahal ia juga menjadi tulang punggung. Seorang pemenang tidak hanya berfikir bagaimana ia menang, tapi juga bisa sama-sama menang. Seolah aku tidak siap, jam sudah berlari cepat dari biasanya. Tiga puluh menit lagi acara akan dimulai. Aku harap ia bisa ikut bersama kami.
Ketika di bibir pintu, aku takjub ternyata hari pertandingan ini ia benar-benar memakai jilbab, sesuai janjinya. Sebuah tekad yang kuat, meski terbaring lemas ia tak mau melepaskannya.
“Rehana,” berharap ia mengenaliku.
“Yat” ia mencoba menguatkan dirinya untuk bicara.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Iya aku baik-baik saja, aku ingin bicara denganmu ”
“kamu kan pernah berjanji akan menjadi bintang sejati” lirihnya perlahan sejurus aku teringat pembicaraan di malam hari yang lalu.
“I..iya “jawabku.
“Pergilah… wujudkan cita-cita kita…”
“Tapi kau ,,,,”potongku
“Jangan hiraukan aku. Percayalah… Allah bersama kita. Tak perlu memikirkanku. Bukankah sang bintang memang membutuhkan kegelapan untuk bisa bersinar terang” tukasnya sambil meneteskan air mata.
“Tapi aku tak akan pergi begitu saja membiarkanmu. Kau juga harus sembuh Han” seruku menembus ruang dan waktu.
“Pergilah Yat, kumohon.. bukankah kemenangan itu adalah kemenangan kita bersama. Engkau pernah mengajariku tentang ketetapanNya. Kau ada atau tidak ada disini. takdirNya akan tetap berlaku. Tidak ada yang bisa memajukan apalagi mengundurkannya” Ruangan seolah-olah menjadi hening, yang terdengar hanya isak tangis . 
“Tapi aku tak rela melihatmu begitu saja, biarlah aku batalkan saja keikutsertaanku di olympiade. Akan ada banyak orang lain yang bisa menggantikanku” harapku.
“Yat, kumohon penuhi penuhi permintaanku, dan mungkin inilah yang terakhir. Wujudkan impianmu menjadi bintang di olympiade astronomi ini. Buktikan jika bintang benar-benar tanda kebesaranNya. Cintamu pada bintang!!”
“Dan kau juga harus sembuh, Han!!”
“Iya kau juga harus menang, Yat!”
Aku segera berlari, berharap masih bisa mengikuti  lomba. Lima menit lagi sebelum terlambat.
“ Ya Allah mudahkanlah, sembuhkanlah Rehana sebagaimana engkau memudahkan kami di olympiade ini” amin.

Kota Kalong, 24 Ramadhan 1432 H
Muhammad Scilta Riska, Msc_

0 komentar:

Posting Komentar

 

Inspirasi

Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam as-Syaafi'i dll memang telah tiada di dunia ini.

Namun, ketika manusia membaca buku, tulisan mereka ...

"Berkata, Imam Bukhari, Muslim as-Syaafi'i rahimahumullah ..."

Saat itu pula seolah mereka masih hidup di dunia...

Msc_