Suatu kesempatan saya duduk di beranda rumah sembari menunggu umpan inspirasi.” Apa yah yang bisa saya tulis hari ini?” seolah dari semenjak pagi tadi belum juga ada tulisan. Padahal secara kasat mata bahan itu sudah siap disekeliling, tinggal bagaimana kita mengolahnya. Kita hanya memoles, tak perlu menciptakan hal yang baru. Mungkin menulis dari persepsi yang berbeda pada satu tema. Tiba-tiba lamunanku berhenti, sembari melihat tukang ojek menunggangi motornya berlari berteriak!. Tak jelas apa yang ia katakan sampai pada akhirnya sumber suara itu mendekat. Sepasang mata saya hanya tersorot pada ujung pembicaraannya. Ternyata ia sedang memburu layang-layang sedari tadi putus. Ya sesuai musimnya, kemarau adalah moment terpenting maraknya tradisi ini.
Saya hanya berhipotesa, kenapa tukang ojek bukannya memburu kertas persegi panjang, malah memburu kertas “persegi empat layang”. Apa ia sudah nggak waras, ah masa’ sesadis itu. Mungkin sudah bosan dengan penumpang yang selalu numpang. Apalah arti kertas segi layang itu dibanding kertas persegi panjang yang nilainya jauh lebih besar. Ataukah tukang ojek tadi sudah merasa cukup dengan pencarian kehidupannya selama ini. Apakah ini yang disebut ideology yang neo-neo. Lagipula tukang ojek ini bukanlah remaja anak-anak, melainkan sudah “berkepala”! Mungkin ini termasuk hal yang lucu, tapi nggak apalah kita silet-silet saja kasusnya. Hee..
Hasil penelusuran menduga kuat, hal ini terjadi tidak lain karena adanya dorongan hasrat yang kuat untuk melakukan pekerjaan ini. Jadi bukan dibuat-buat, semacam ada kepuasan tersendiri. Atau lebih gaul disebut hoby! Ya si tukang ojek ini sudah kecanduan terlanjut tepesona dengan layang-layang. Bahkan dengan darah dan cinta-pun akan dikorbankan juga. Bukankah hoby itu menyenangkan, lihat saja orang yang memancing ikan di lahan-kering pun akan rela berjam-jam duduk meskipun tidak ada jaminan kalau ikannya masih ada. Atau tukang ojek tadi rela meninggalkan penumpangnya demi seekor layang-layang. Terasa ada kepuasan tersendiri ketika memainkan kertas persegi tersebut apalagi mengejar ketika putus. Ada nilai perjuangan, memburu, berlari dan menangkap. Meskipun sesekali saja menoleh kebawah tanpa memperdulikan apa yang dipijaknya. Ia tidak lagi melihat duri sebagai duri tapi ia hanya focus dari apa yang dikejarnya hingga benar-benar menjadi pemenangnya barulah ia melupakan segala derita yang dilaluinya. Apapun yang terjadi laying-layang itu harus luluh ditangannya.
Nah! Begitu pula dengan menulis, banyak orang mau menjadi penulis, tetapi dia sendiri tidak bisa berlama-lama dengannya. Cobalah jadikan menulis itu sebagai hoby. Sesibuk apapun anda menulis itu tetap “having a fun”. Jangan menjadikan menulis sebagai beban, hanya dituntut menjalani arusnya saja. Sekali lagi kita menjadi penulis bukan karena pekerjaan, tapi itu memang hoby kita!
“Tak perlu banyak membaca agar kelak menjadi penulis. Tapi kita menjadi penulis itu gara-gara banyak membaca!”_ Muhammad Scilta_
Kota Kalong, 23 Ramadhan 1432 H
Muhammad Scilta
0 komentar:
Posting Komentar