Social Icons

Pages

Karya Imām Abū Ḥanīfah



Abū Ḥanīfah tidak menulis buku dalam bidang fiqih, akan tetapi seluruh pandangan, pendapat, ijtihadnya ditulis oleh murid-muridnya. Karya-karya ilmiah tentang mażhab ini sangatlah banyak dan paling pokok dari semuanya adalah kitab-kitab ahir al-riwayah yang dikodifikasi oleh Muhammad bin al-Hasan dan dhimpun oleh seorang pemimpin yang wafat secara syahid (al-hakim as-syahid) dalam kitabnya al-Kāfi.[1]

Menurut Syed Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, karya-karya Imām Abū Ḥanīfah, baik mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada waktu beliau masih hidup) belum dikodifikasi. Setelah beliau meninggal dunia, buah pikirannya dikodifikasikan oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya sehingga menjadi mażhab ahl ra’yī yang hidup dan berkembang.
Adapun murid-murid dari Imām Abū Ḥanīfah yang berjasa dalam mengkodifikasikan fatwa-fatwanya sehingga dikenal di dunia Islam, adalah :
1.
         Abu Yūsuf  Ya’kūb ibn Ibrāhim al-Anarī (113-182 H).
2.
         Muhammad ibn asan al-Syaibānī (132-189 H).
3.
         Zufar ibn Huzail ibn al-Kūfī (110-158 H).
4.
         Al- asan ibn Ziyād al-Lu’lu’ī (133-204 H).
Dari ke-empat murid tersebut yang banyak menyusun buah pikran Imām Abū Ḥanīfah adalah Muhammad al-Syaib
ānī yang  terkenal dengan al- Kutub al-Sittah (enam kitab), yaitu : Kitab al-Mabsu, Kitab al-Ziyādāt, Kitab al-Jāmi’ al-agīr, Kitab al-Jāmi’ al-Kabīr, Kitab al-Sair al-agīr, Kitab al-Sair al-Kabīr
Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kāfi yang disusun oleh Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Marūzi (w. 344 H.). Kemudian pada abad ke-5 H. Muncul Imām al-Sarakhsi yang mensyarah al-Kāfi tersebut dan diberi judul al-Mabsūṭ. Al-Mabsuṭ inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mażhab anafī.
Kitab-kitab yang ditulis dalam Mażhab Ḥanafī dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

a.  Al-Uṣūl

Yaitu masalah-masalah yang termasuk ahir riwāyah, yaitu pendapat yang diriwayatkan dari Abū Ḥanīfah dan sahabatnya, seperti Abu Yūsuf, Muhammad bin al-Hasan al-Syaibānī . Adapun kitab yang termasuk ahir riwāyah ada enam buah, yaitu al-Mabsu atau al-Al, al-Jāmi’ al-Kabīr, al-Jami’ al-agīr, al-Siyar al-Kabīr, al-Siyar al-agīr dan al-Ziyādat.
Keenam kitab itu kemudian disusun menjadi satu kitab yaitu al-Kāfī oleh Hakim al-Syahid. Kitab ini merupakan kesimpulan dari kitab enam di atas dan menjadi referensi utama dalam Mażhab.
Telah banyak ulama yang mensyarahnya, yang terbaik adalah al-Mabsuṭ oleh Shams al-A’immah al-Sarkhasi. Demikian penting kedudukan kitab ini, hingga ada ulama menyatakan, bahwa semua riwayat yang bertentangan dengan kitab ini tidak bisa diterima.

b. Al-Nawādir

Yaitu pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari Abū Ḥanīfah dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam zhahir riwayah. Al-Nawadir terdiri dari Kitab al-Raqqiyyat, al-Kaysaniyyat, al-Jurjaniyyat dan al-Haruniyyat.
Termasuk dalam barisan ini Kitab al-Muntaqa (karya al-Hakim al-Shahid), Kitab al-Amali wa al-Jawami‘, dan al-Mujarrad (karya al-Hasan bin Ziyad). Meskipun kitab-kitab al-Nawadir ini diriwayatkan secara ahad, boleh jadi pada kasus-kasus tertentu isinya lebih kuat daripada al-Usul. Hal ini bisa dilihat pada kasus kesaksian hilal Idul Adha, yang menyatakan cukup dengan satu orang saksi saja.

c.  Al-Fatāwa

Al-Fatāwa disebut juga dengan al-Waqi‘at, yaitu himpunan hasil ijtihād Mażhab al-Ḥanafi al-muta’akhkharīn, seperti ashāb (mitra belajar) Muhammad, Abu Yusuf, Zufar, al-Hasan bin Ziyad, ashab mereka, dan seterusnya.
Termasuk dalam barisan ini adalah Kitab al-Nawazil karya Abu al-Layth al-Samarqandi, Majmu‘ al-Nawazil wa al-Hawadith wa al-Waqi‘at karya Ahmad bin Musa bin Al-Kashi, al-Waqi‘at karya Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-Razi al-Natifi, dan al-Waqi‘at karya al-Sadr al-Shahid. Semua kitab tersebut telah dihimpun dan disusun ulang secara tertib oleh Radi al-Din al-Sarkhasi dalam Kitab al-Muīt.
Kitab-kitab dalam barisan ini lebih rendah derajatnya daripada al-Nawādir, karena tidak semua isi kitab-kitab itu berasal dari pendiri Mażhab, dan tidak mempunyai sanad yang sampai kepada pemilik pendapat yang bersangkutan. Apalagi para pemilik pendapat itu sendiri tidaklah sederajat dengan para Imām Mażhab yang tiga, baik dalam hal faqāhah maupun ‘adālah. Demikian pula tidak sebanding dengan para “penjaga matan” dalam hal zuhd, wara‘, ‘adalah, ‘ilm, itqan, hifz, maupun dabt. Kitab-kitab dalam barisan ini hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang sedang belajar fiqih (al-mufaqqih), yang tidak diketahui haliyah mereka, baik secara riwayah maupun dirāyah.
Salah satu ciri khas Mażhab Ḥanafī adalah dalam metode pengajaran dan penulisan buku, mereka biasa mengumpulkan masalah-masalah furu’ untuk kemudian dicarikan hukumnya dan diwariskan disetiap generasi. Dari masalah-masalah itulah mereka menghasilkan kaidah-kaidah umum baik dalam bidang Ilmu Ushul maupun Ilmu Fiqh, jadi yang diwariskan dari Imām-Imām mereka bukanlah kaidah-kaidah yang baku sebagaimana yang lazim di Mażhab lain, melainkan sekumpulan permasalahan. Inilah yang dikemudian hari menjadikan mereka membentuk satu aliran besar dalam bidang Ushul Fiqh, Aliran Ḥanafiyah atau Aliran Fuqaha’. Dan budaya ini juga yang menempatkan mereka sebagai perintis lahirnya Ilmu Qawāid Fiqhiyah.
Diantara buku-buku penting yang juga menjadi pegangan pokok seperti kitab al-Hidayah Syarh Bidayah al-Mubtadi karangan Syaikhul Islam al-Marghinani, al-Dzakhirah al-Burhaniyah yang juga karangan beliau, dan Badai’ al-Shanai’ karangan Imām al-Kasani.
Diantara karya pemikiran Abū Ḥanīfah yang ditulis oleh muridnya; Al-Fiqh Al-Akbār, Kitab Al-Risālah, Kitab Kitab Al-Waiyyah, Al-Fiqh Al-Absa dan Kitab Al-‘Ālim wa Al-Muta’allim.
Mażhab Ḥanafī juga dilestarikan oleh murid Imām Abū Ḥanīfah lainnya, yaitu Imām Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh Mażhab Ḥanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj, Ikhtilāf Abū Ḥanīfah wa Ibn Abī Lailā, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini. Disamping itu juga masih banyak buku-buku lain yang menjadi referensi penting dalam Fiqh Ḥanafi, baik itu berupa mutun, mukhtaar, maupun syuruh.


[1] Abdul Wahhab Khallaf, Al-Ijtihād fī Al-Syarīah Al-Islāmiyyah (Ijtihad dalam Syariat Islam), terj. Rohidin Wahid, Cet I;( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015) , h. 110.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Inspirasi

Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam as-Syaafi'i dll memang telah tiada di dunia ini.

Namun, ketika manusia membaca buku, tulisan mereka ...

"Berkata, Imam Bukhari, Muslim as-Syaafi'i rahimahumullah ..."

Saat itu pula seolah mereka masih hidup di dunia...

Msc_