a. Perjalanan Menuntut Ilmu
Abū Ḥanīfah tumbuh dan dibesarkan di kota Kūfah.
Di kota inilah ia mulai belajar dan menimba banyak ilmu yang merupakan pusat
pertemuan para ulama fiqih yang cenderung rasional. Di kota ini juga terdapat
madrasah Kūfah yang dirintis oleh Abdullāh Ibn Mas’ūd (w 63H/682 M). Secara
khusus Abū Ḥanīfah belajar fiqih kepada Hammād ibn Abī Sulaimān yang berguru
fiqih kepada Ibrahim Al-Nakha’i.[1] Ibrāhim Al-Nakha’i
merupakan pimpinan madrasah Kūfah kemudian beralih kepada Hammād Ibn Abi Sulaimān
al-Asy’ary (w 120 H). Hammād Ibn Sulaimān adalah salah seorang Imām besar
(terkemuka) ketika itu. Ia murid dari ‘Alqamah ibn Qais dan al-Qādhi Syuriah;
keduanya adalah tokoh dan pakar fiqih yang terkenal di Kūfah dari golongan tābi’īn.
Kemudian Abū Ḥanīfah beberapa kali pergi ke Hijāz untuk
mendalami fiqih dan ḥadīs sebagai nilai tambah dari apa yang ia peroleh di Kūfah.
Sepeninggal Hammād, majlis madrasah Kūfah sepakat untuk mengangkat Abū Ḥanīfah
menjadi kepala madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa
dalam masalah fiqih. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran Mażhab
Ḥanafī yang dikenal sekarang ini.
Imām Abū Ḥanīfah menguasai berbagai
ilmu pengetahuan, antara lain ahli dalam
bidang ilmu kalam, ilmu-ilmu Alquran, ilmu ḥadīs, menguasai bahasa Arab dan
ahli dalam bidang fiqih.
Imām Al-Żahabī rahimahullāh bercerita:
وقال صالح بن محمد: سمعت يحيى بن معين يقول: كان أبو حنيفة ثقة في الحديث،
وروى أحمد بن محمد بن القاسم بن محرز، عن ابن معين: كان أبو حنيفة لا بأس به. وقال
مرة: هو عندنا من أهل الصدق، ولم يتهم بالكذب.
Sālih bin Muḥammād berkata: Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata, “Abū
Ḥanīfah adalah orang yang ṡiqah (terpercaya) dalam ḥadīs.” Ahmad
bin Muhammad bin Al-Qāsim bin Mihraz
meriwayatkan dari Ibnu Ma’in, “Abū Ḥanīfah lā ba’sa bihi (tidak apa-apa).” Dia berkata lagi, “Bagi
kami dia adalah ahlus al-ṣidqi (orang yang jujur), dan tidak dituduh sebagai pendusta.”[2]
Namun, sebagian ulama ada yang menḍaifkannya dari sisi hafalannya, seperti Imām Al-Nasa’i, Imām Ibnu ‘Adi, dan
lainnya. Imām Al-Żahabī sendiri menyebutnya sebagai Imām Ahl Ar-Ra’yi. (Imāmnya
para pengguna rasio).[3]
Penḍaifan yang dilakukan oleh Imām An-Nasa’i dan Imām
Ibnu ‘Adi terhadap diri Imām Abū Ḥanīfah, telah dikoreksi para ulama. Cukuplah
bagi kita pujian yang datangnya dari manusia yang hidup se-zaman dengannya, dan
pernah bertemu dengannya pula, seperti Imām Abdullāh bin Mubārak, Imām Mālik, Imām
‘Ali bin Al-Madīni, Imām Yahya bin Adam, Imām Al-Hasan bin Ṣalih, dan lainnya, dibandingkan kritikan dari Imām An-Nasa’i dan Imām Ibnu
‘Adi yang hidupnya satu sampai dua abad setelah Imām Abū Ḥanīfah.
Ahlu al-Ra’yi adalah orang yang
lebih dominan menggunakan ra’yu (pendapat-aql), dibanding aṡar (naql).
Oleh karenanya sebagian orang menuduh Imām Abū Ḥanīfah hanya sedikit
menggunakan ḥadīs, dibanding akalnya sendiri. Ada yang menyebut bahwa beliau
hanya menggunakan ḥadīs sebanyak tujuh belas saja.
Namun hal ini disanggah oleh para ulama yang mengkaji
kehidupan Beliau secara objektif. Seperti Imām Ibnu Khaldūn misalnya dalam kitab Muqaddimah. Menurutnya, sedikitnya ḥadīs
yang diriwayatkan oleh Imām Abū Ḥanīfah bukan karena Beliau menolak ḥadīs,
tetapi lebih disebabkan karena kehati-hatian dan ketatnya syarat-syarat ḥadīs ṣaḥīḥ yang ditetapkannya dibanding dengan Imām lainnya. Bagaimana mungkin beliau
tidak menggunakan ḥadīs, padahal beliau telah menjadi Imāmnya para Imām,
fuqaha, dan ahli ḥadīs, sehingga Beliau menjadi muassis (peletak
dasar) mażhab Ḥanafī. Para fuqahā Ḥanafī, seperti: Imām Muhammad bin Hasan, Al-Qāḍi Abu Yūsuf, Imām Kamaluddin bin Al-Hummam, Imām Ibnu ‘Ābidin, dan lainnya. Juga para Imām ahli ḥadīs, seperti Imām Abu Ja’far Al-Ṭahāwi, Imām Al-Zailā’i, Imām Al-Marghinani,
dan lainnya.
Beliau juga menyusun ilmu pengetahuan dari madrasah
ilmiah di Kūfah, yang sejak awalnya sudah difondasikan oleh salah satu sahabat Nabi, Abdullāh
bin Mas’ūd radhiallahu ‘Anhu, yang memadukan ḥadīs dan fiqih sekaligus.
Dari madrasah ilmiah ini lahirlah para Imām tābi’īn, seperti Ibrahim Al-Nakha’i,
Hammād bin Abi Sulaimān, dan Imām Abū Ḥanīfah salah satunya di generasi setelah
mereka.
Oleh sebab itu tepat apa yang dikatakan oleh Imām
Yahya bin Ma’in tentang beliau: “Abū Ḥanīfah
adalah ṡiqah, dia tidak akan berbicara dengan ḥadīs kecuali dengan
yang dihafalnya, dan tidak akan berbicara dengan yang tidak dihafalnya.”[4]
Imām Ibnu Khaldūn rahimahullah berkata:
“Imām Abū Ḥanīfah sedikit riwayat ḥadīsnya sebab beliau sangat ketat
dalam menetapkan syarat-syarat riwayat dan penakwilannya, beliau menḍaifkan ḥadīs jika ḥadīs tersebut dinilai bertentangan dengan nalar secara
meyakinkan. Maka dari itu beliau telah mempersulit dirinya sendiri, dan
sedikitnya riwayat ḥadīs darinya adalah karena hal itu. Bukan karena Beliau
sengaja meninggalkan ḥadīs, sungguh Beliau jauh dari sikap itu.
Hal yang membuktikan bahwa Beliau seorang mujtahid besar dalam ḥadīs adalah
bahwa para ulama telah menyandarkan diri mereka kepada mażhabnya dan telah
memberikan kepercayaan kepadanya.
“Sedangkan para ahli ḥadīs yang lain, yaitu jumhur (mayoritas), lebih
longgar dalam menetapkan syarat-syaratnya. Sehingga ḥadīs mereka banyak dan
lapang dalam berijtihad. Namun demikian, para pengikut Abū Ḥanīfah lebih
longgar dalam menetapkan syarat-syarat periwayatan, sehingga ḥadīs mereka juga
banyak.
Al-Ṭahāwi meriwayatkan paling banyak dan menulis Musnadnya, yaitu
kitab Jalilul Qadr. Tetapi belum sebanding dengan Ṣaḥiḥain (Ṣaḥīḥ Bukhāri dan Ṣaḥīḥ Muslim). Sebab syarat-syarat yang
ditetapkan oleh al-Bukhāri dan Muslim telah
disepakati umat, sebagaimana yang mereka katakan, sedangkan syarat-syarat yang
ditetapkan oleh At-Ṭaḥāwī belum disepakati mereka. Seperti riwayat yang datangnya dari orang yang
masih tersembunyi keadaaanya dan lain-lainnya.”[5]
Ibnu Muqātil menceritakan bawah
Ibnu Mubārak pernah mengatakan, “Jika suatu aṡar telah diketahui dan
membutuhkan logika (ra’yi) maka merujuklah pada Mālik, Sufyān, dan Abū Ḥanīfah. Dan Abū Ḥanīfah merupakan orang yang terbaik, lebih
cedas, lebih faqih diantara ketiga orang tersebut”. Ibnu Mubārak juga
mengatakan, “ Jika seseorang harus berkata dengan logikanya, maka Abū Ḥanīfah-lah
yang paling pantas mengatakannya.”[6]
0 komentar:
Posting Komentar