Banyak kata-kata hikmah yang disandarkan sebagai ucapannya,
di antaranya: “Jika ada ḥadīs yang kuat, maka ḥadīs itu adalah pendapatku, dan
tinggalkanlah perkataanku dan gantilah dengan perkataan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.[1]
Dalam keterangan lain, ada beberapa kata-kata hikmah yang juga disandarkan
kepada beliau:
لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما
لم يعلم من أين أخذناه. وقال: حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي
بكلامي؛ فإننا بشر نقول القول اليوم ونرجع عنه غدا . وكذلك قال: إذا قلت قولا
يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول فاتركوا قولي
“Tidak halal bagi seorang pun yang mengambil pendapat
kami selama dia belum tahu dari mana kami mengambil pendapat kami itu.”
Beliau juga berkata, “Haram atas siapa pun yang tidak
mengetahui dalilku lalu dia berfatwa dengan fatwaku, karena kami juga manusia
yang bisa berpendapat pada hari ini lalu kami meralatnya esok hari.”
Beliau juga berkata, “Jika pendapatku bertentangan
dengan Kitabullah dan Sunah Rasulullah, maka tinggalkanlah pendapatku.”[2]
Kehebatan dalam berdebat
Ada peristiwa unik dan mengagumkan tentang Imām Abū
Ḥanīfah dalam hal ini, sebagaimana diceritakan Imām Al-Żahabī. Khalīfah Al-Manṣūr hendak menjadikannya sebagai seorang pejabat tinggi, yaitu sebagai Qāḍi (semacam
hakim agung saat itu). Raja memaksanya, namun Imām Abū Ḥanīfah menolaknya.
Mughiṡ bin Budail bercerita, bahwa Al-Manshur
memanggil Imām Abū Ḥanīfah untuk dijadikan sebagai Qāḍi (hakim agung), maka terjadilah dialog:
Berkata Khalīfah, “Maukah kamu menduduki jabatan yang
sekarang dibebankan kepadaku?”
Imām Abū Ḥanīfah menjawab, “Saya tidak layak.”
Khalīfah menimpali, “Bohong kamu!”
Lalu di antara jawaban Abū Ḥanīfah yang membuat Khalīfah
tidak bisa berkata-kata, dan menunjukkan kehebatan Abū Ḥanīfah dalam berdebat
dan ilmu logika, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Rābi’ Al-Hājib berikut ini:
Abū Ḥanīfah menjawab, “Demi Allah, jika dalam keadaan
senang saja aku tidak amanah, maka bagaimana bisa amanah jika aku sedang marah?
Pokoknya aku tidak layak!”
Al-Manṣur berkata, “Kamu
bohong!”
Abū Ḥanīfah menjawab lagi, “Kalau begitu, bagaimana
bisa Anda menjadikan seorang pembohong sebagai hakim?”[3]
“Ya, kalau memang sudah tahu aku ini pembohong kok masih
diangkat juga sebagai hakim?” Inilah jawaban Abū Ḥanīfah untuk mengelak menjadi
seorang pejabat negara.
0 komentar:
Posting Komentar