Sudah pukul 16.30 batang hidungmu belum muncul. Sudah tanggal 28 Juli
2016 kabarmu juga belum datang. Tepat lima tahun silam aku berencana
bertemu denganmu dalam sebuah akad di tempat ini. Aku kira ini
perhelatan hidup paling sakral.
Seperempat hidupku telah kulalui
hanya untuk menunggu. Berpindah dari penantian ke penantian lainnya.
Aku berbaik sangka jika hidup benar-benar adalah penantian. Sadar atau
tidak kita saling-menanti.
Menunggu bus, menunggu jam
istirahat, menunggu kelulusan. Di warung menunggu pesanan. Menunggu
lampu merah menghijau. Pegawai menunggu gaji bulanan. Anak muda menunggu
masa tuanya. Orang yang beribadah menunggu imbalan pahala. Termasuk aku
juga menunggumu.
Hampir saja hidup kita habis dalam penantian.
Bahkan dalam perjalan kita juga menunggu untuk segera sampai. Bahwa
dalam perjalan itu tidak ada yang datang, kita sedang menyiapkan
waktunya masing-masing.
"Diantara orang-orang mukmin
itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada
Allah; maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada
(pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya )." (QS. Al Ahzab: 23).
Lagi-lagi
kuperhatikan mushafku. Memastikan ada kata “menunggu” dalam kitab
suciku. Memastikan perasaan mempersiapkan kenyataan. Setiap hari aku
menunggumu dalam do’a-do’a sujudku. Perlahan lipatan-lipatan waktu
semakin merekat.
Dan kamu tahu? Dari sekian penatian yang
menengangkan adalah menunggu seseorang yang dia sendiri tidak tahu kalau
sedang ditunggu. Ah, bagaimanapun sulitnya mempertemukan penantian.
Jika kedua pihak sama-sama menunggu. Jangankan pertemuan, membuat janji
pun tidak pernah. Menunggu yang pasti saja melelahkan, bagaimana lagi
yang belum pasti.
Aku hanya ingin memastikan, bahwa yang
kutunggu benar-benar ada. Meskipun tidak harus bertemu saat ini, kan.
Keyakinanku padamu melebihi kesabaranku menunggumu. Penantianku bahkan
sudah terlilit waktu. Hingga jarak kedatanganmu tidak lebih panjang dari
kesabaranku, menunggumu.
Ayahku juga sudah menunggumu. Lelaki
mana yang akan siap serah terima tanggungjawab hidup dunia akhirat anak
perempuan. Berlarut-larut kita menunggu tepat waktu dari pada waktu yang
tepat. Padahal kita adalah menunggu janjiNya.
“Dan
penghuni-penghuni surga berseru kepada Penghuni-penghuni neraka (dengan
mengatakan): ‘Sesungguhnya kami dengan sebenarnya telah memperoleh apa
yang Tuhan kami menjanjikannya kepada kami. Maka apakah
kamu telah memperoleh dengan sebenarnya apa (azab) yang Tuhan kamu
menjanjikannya (kepadamu)?" Mereka (penduduk neraka) menjawab: "Betul".
Kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumumkan di antara kedua golongan
itu: "Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-‘Araf: 44).
Berulang-ulang
ayat ini kubaca. Air mataku meleleh bersama rindu. Alangkah indanya,
kelak kubaca dalam sampul do’aku. Berisi lembaran-lembaran penantian
selanjutnya menjadi buku pertemuan denganNya. Kini, aku baru menyadari
(si)apa yang seharusnya aku tunggu.
0 komentar:
Posting Komentar