ramai layang-layang kala musim kering.
Selain gundul alias tidak ada pepohonan satupun, tempat ini sangat kondusif untuk bermain layang-layang sambil menikmati kota Soppeng dengan alunan kelelawar.
Bermain layang-layang salah satu scene masa kecil yang selalu terkenang. Daripadanya kubaca arti sebuah kemerdekaan. Kita kadang takjub dengan layang-layang yang bebas menebar pesona.
Sementara lupa, bahkan tidak melihat bagaimana benang dan penariknya. Orang-orang besar sesungguhnya tidak terlepas dari peran orang-orang sekelilingnya.
Menjadi layang-layang, benang atau pengendali adalah kemerdekaan yang tidak dipisahkan. Lihatlah kepercayaan layang-layang akan benang dan penariknya. Meskipun terlihat ia dibiarkan diterpa angin, tapi tetap yakin bahwa benang selalu ada untuknya.
Hatta terjadi kerenggangan dia yang menarik benang agar keyakinan itu tidak putus. Kemerdekaan bukan disaat layang-layang itu putus dari tuannya, bebas di angkasa. Namun seberapa erat ia memegang benangnya. Demikian keyakinan dan kepercayaan akan pegangan hidup adalah sebab ketinggian kita.
“Kompira itu sebenarnya serapan dari Kampiroe'. Berarti masih ada. Konon, sewaktu Penjajahan Belanda, para pejuang naik ke gunung ini sambil memandang ke arah Mess Ratu Yuliana di puncak kota. Memastikan apakah masih ada tentara penjajah. Mereka berteriak kepada penduduk, kampiroe. Mereka masih ada. Sehingga inilah cikal bakal penamaan gunung ini” sebut Bapak suatu waktu.
Alaa kulli hal, asal muasal nama gunung dan layang-layang mengingatkan pada kita. Apakah memang kemerdekaan hari ini dalam arti tanpa ada penjajahan sama sekali?
Indahnya menikmati layang-layang kita sedang melalangbuana ke angkasa, sayangnya bukan kita pengendalinya. Setengah gempita layang-layang kita tarik, sementara bayang-bayang kita dikendalikan orang. Entah kita berteriak, merdeka! Namun nurani masih berkata, kampiroe'!
0 komentar:
Posting Komentar