Jika perjalanan ini tidak ada pertemuan tersisa
cukuplah aku menemuimu dalam kenangan,
cukuplah aku menemuimu dalam kenangan,
Mengapa kita memaksakan pertemuan jika
akhirnya memilih jalan yang berbeda?
Di semester satu Syariah saya bertemu mata kuliah ‘Ulumul
Hadits. Terkagum dibuatnya, Imam Bukhari. Jika Muhaddits lain mencukupkan syarat al- mua’ashira, se-zaman. Baginya
tidak, harus ada pertemuan!
Misalnya ada meriwayatkan hadits. “Diceritakan si A kepada
saya dari si B ...” sebagian muhaddits hanya mencukupkan murid
se-zaman dengan syekhnya. Bagi Imam Bukhari tidak, harus ada
pertemuan keduanya. Jika si A tidak pernah mendengar langsung dari si B “lam
yasma’ minhu”. Riwayatnya masih dipertimbangkan. Musti dia
bertemu mendengar langsung,
meskipun
hanya sekali seumur
hidup.
Sebegitu pentingnya-kah pertemuan perawi-perawi hadits?
Hanya sebab pertemuan pula, orang yang seharusnya disebut
sahabat, tidak juga dikategorikan tabi’in. “Orang yang bertemu dengan Nabi,
beriman padanya dan mati dalam keadaan islam” begitu definisi sahabat. Itulah Mukhaddrom
lantaran tidak pernah bertemu langsung Rasulullah.
Kadangkala seringnya ketemuan kita anggap itu bukan
pertemuan. Selalu ketemu namun tidak pernah bertukar nama, salam apalagi.
Abu Hurairah bertemu Nabi kurun waktu tiga tahun lebih saja.
Demikian dialah sahabat paling banyak meriwayatkan hadits.
Kawan, hargailah pertemuan sesingkat apapun itu. Karena
pertemuanmu itu bagian dari Takdirnya. Berapa banyak manusia mengharapkan, tapi
tidak pernah sekalipun bersua. Adapula tidak pernah merencanakan. Namun dari
pertemuan itulah menyisakan kenangan.
“Bukan perpisahan yang kutangisi. Tapi pertemuan yang kuhargai.”
Di perjalan ini akan ada pertemuan orang-orang pada tujuan
yang sama. Meskipun awalnya berbeda jalan, akan bertemu pada arah yang sama. Tidaklah
sebuah komitmen terakad melainkan ada pertemuan.
”Saudaraku”
“Bukankah kami adalah saudaramu Wahai Rasulullah.”
“Bahkan kalian sahabatku.”
“Lalu siapakah saudaramu itu?”
“Mereka adalah yang beriman padaku, tetapi tidak pernah
bertemu denganku.”
Jika saja di dunia ini kita tidak ditakdirkan bertemu orang
paling mulia. Maka jangan melewatkan kesempatan lain untuk kelak bertemu Rasulullah.
Sekiranya kita menghargai pertemuan, tidak ada orang yang
shalat serupa ayam berpatuk-patuk. Dia tidak akan shalat memakai kaos oblong
bergambar pakaian olahraga pula. Tidak ada manusia ogah datangi mesjid sebab
beratnya menenteng dunianya, tepat waktu hadirnya. Sekalipun merangkak di malam
buta disambutnya jua panggilan kemenangan.
“Ya Bilal istirahatkanlah kami dengan shalat” seru
Nabi.
Sekiranya kita menghargai pertemuan. Berjuta kegembiraan,
sebentar lagi akan mengadakan per-temu-an dengan Rabbnya.
“Jika engkau hendak shalat, shalatlah dengan shalat
perpisahan” nasehat
Nabi kepada sahabatnya.
Sekiranya demikian shalat kita, tidak ada yang
memikirkan dunia, benar-benar khusyuk, bisa jadi inilah pertemuan terakhir sekaligus
shalat perpisahannya.
Tidak ada kenikmatan dunia yang tersisa selain sepenggal
pertemuan ukhuwah. “Tidaklah tersisa dari kelezatan dunia selain tiga hal;
shalat malam, bertemu dengan saudara-saudara (seiman), dan shalat berjamaah”
kata Muhammad bin Al-Munkadir.
Sebab pertemuan itupula kita tidak menangisi perpisahan.
“Kematian adalah pintu pertemuan dengan Rabbmu”
Begitu banyak manusia takut bertemu sahabat lamanya,
kematian. Entah karena dia tidak rela berpisah dengan sohib barunya, dunia.
Rencanakanlah, kapan, dimana, bagaimana pertemuanmu dengannya.
Dan puncak kebahagiaan itu adalah pertemuan. Bertemu melihat
wajah Allah.
Sampai ketemu.
0 komentar:
Posting Komentar