“Perjalanan seribu mil dimulai satu langkah pertama”
_pepatah China_
Kawan ! Kalau boleh bertanya, “Pernahkah kita merasa tidak pantas mengerjakan sesuatu?”. Semacam ada rasa takut bercampur trauma. Coba ingat-ingat waktu kecil ketika anda dengan polosnya manjat pohon. Abis manjat turun sambil lompat. Apa yang anda rasakan? Sakit bahkan trauma tidak mau lagi manjat. Bedanya sekarang, sudah punya tubuh yang kuat kekar, apapun bisa dilakukan. Pernah kita berfikir akan satu nikmat ini?
Hidup itu berproses! Ada kalanya belum saatnya kita kerjakan. Dalam segala lini kehidupan-pun selalu mengakui adanya tahapan-tahapan. Maka dalam menuntut ilmu juga begitu. Bagaimana jadinya, anak SD yang baru belajar membaca langsung disuruh berpidato. Atau anak SMP dikasi pelajaran Mahasiswa semester terakhir. Kalau tidak bingung pastinya pusing.Tidak serat merta memahamai segala ilmu tanpa ada proses. Makanya salah satu buku fenomenal, “Ihya’ulumuddin” karya imam al-Gazali jadi teka-teki. Dari buku ini banyak menginspirasi timbulnya kelompok-kelompok islam. Sebutlah sufi, paling banyak mengambil rujukan dari buku ini. Tak dipungkiri ulama ahlusunnah wal jama’ah juga banyak menukil. Sebutlah minhajul Qosidin karya Imam Ibnu Qudamah merupakan ringkasan Ihya’ulumuddin. Nah siapa yang salah, bukunya atau orang yang mempelajarinya? Kalau orang yang belajar berproses, pastinya akan tahu dan tidak kewalahan dalam membaca mempelajari suatu buku.
Atau lebih tinggi dari itu, al-Qur’an dan as-Sunnah. Sama –sama sumbernya kok hasilnya berbeda. Yang salah sumbernya atau yang mempelajarinya. Satu kata kunci, perlu proses dalam belajar. Boleh jadi baru mengerti sedikit bahasa Arab atau sama sekali tidak paham sudah berani menafsirkan al-Qur’an sendiri. Berfatwa sana sini padahal baru belajar hadits arba’in itupun terjemahan. Baru satu pekan belajar ngaji sudah berani mengeluarkan fatwa padahal urusan shlalatnya belum beres.
Sering kita dengar, “Jangan belajar sama ustadz Anu, karena sudah ditahsir”. Bayangkan makhraj huruf tahsir seharusnya tahdzir belum beres sudah berani bikin tahdziran. Ulama sekaliber Imam Bukhari saja, kalau menyebutkan salah satu perawi hadits yang mecurigakan. Masih menggunakan kata-kata, “masih perlu dikaji, . padahal itulah sehalus-halusnya komentar. Pantasnya Beliau menggunakan, “pendusta, pembohong, dajjal” tetapi itu tetap dihindari. Siapa kita dari sekedar Imam Bukhari?
Semasa kecil, apakah tidak etis kalau anak bayi langsung dikasi nasi atau jagung? Pastinya si Ibu memberi asi, lalu umur setahun dibuatkan bubur dihaluskan sebaik mungkin. Tidak sayangkah ibu kalau tidak memberi ayam goreng saat itu? Ataukah anak bayi memang tidak butuh dengan makanan bergizi tadi? Ya jawabannya butuh tapi belum saatnya.
Begitupula dalam menutut ilmu, mempelajari agama ini. Butuh proses. Jangan berharap seperti ulama-ulama dahulu kalau tidak menjalani tahapannya. Dahulu ulama mengawali karir menuntut ilmu dengan menghafal al-Qur’an begitupula hadits. Kemudian belajar bahasa arab, bahasa penduduk surga. Bahkan ada ulama cuman belajar bahasa dan ilmu alat ( nahwu shorof) sampai 10 tahun.
Tidak sampai disitu, hafal al-Qur’an paham bahasa arab belum tentu bisa menafsirkan al-Qur’an. Itulah bedanya ilmu dan fiqh alias pemahaman. Banyak orang diberi ilmu tapi tidak dikaruniai pemahaman. Maka sampai Nabi-pun berdo’a, “Ya Rabb tambahkanlah kepadaku ilmu, dan karuniakan pemahaman”.
Sehingga dalam proses itu sangat nampak pada tahapan-tahapannya. Memulai dari hal-hal yang relative mudah, lalu naik sedikit lebih tinggi. ada anekdot, apa bedanya dosen dan Guru Besar? Katanya dosen itu mempermudah apa yang sulit, sedang Guru Besar mempersulit apa yang mudah. Sesuatu yang meluas semakin diperdalam. Itulah kenapa sampai ada Prof. Wau. Karena khusus mempelajari seluk beluk asal usul huruf waw dalam bahasa arab. Padahal ini hanyalah sesuatu yang sederhana. Tetapi Karena terus digali didalami jadinya semakin sulit.
Dan dari proses kehidupan ini akan membuat kita semakin dewasa. Semakin matang akan tantangan kedepannya. Kalau anak kecil umuran sebulan langsung mau lari itu mustahil. Dia harus belajar baring dahulu, melata dan berdiri seimbang. Sedangkan untuk berjalan saja butuh proses, bagaimana lagi dengan menuntut ilmu?
Menjadi pribadi yang paripurna juga butuh proses. Dan itulah pentingnya tarbiyah dalam kehidupan. Proses perubahan pribadi seseorang menuju pribadi muslim yang muslih, mukmin, mujahid dan mutqin!Makanya sangat diperlukan tahapan-tahapan dalam sistem pendidikaan. Menyusun karya ilmiah saja dimulai Bab I pendahuluan, rumusan permasalahan. Kalau anda langsung buat kesimpulan dan saran yakin karyanya rancu. Makanya Ibnu Khaldun punya buku berjilid-jilid. Sebelumnya ia sekedar menulis terlebih dahulu muqaddimah. Konon muqaddimah beliau tulis lebih banyak jilidnya dibanding buku (isi) sendiri. so dalam menuntut ilmu dunia saja butuh proses bagaimana lagi dengan ilmu syariat ini?
Muhammad Scilta Riska (rumahrohis.com)
0 komentar:
Posting Komentar