Plus minus itulah ungkapan setelah perginya tamu yang mulia. Tetapi apakah
kita benar-benar telah lulus dari Universitas Ramadhan, menyandang gelar
“taqwa”?. Pertanyaan ini akan terjawab sendiri dari fakta pribadi kita setelah
bulan Ramadhan. Adakah kita termasuk ciri-ciri orang yang bertaqwa. Taqwa tidak
hanya di Bulan mulia ini, tetapi juga setelahnya.
Salah satu istilah ulama untuk Ramadhan adalah
“asy-syahru
at-tagyiir”, bulan perubahan. Harus ada yang berubah dari pribadi kita. Entah
itu kualitas maupun kuantitas ibadah. Di Bulan Ramadhan kita telah mengerjakan
empat rukun Islam. Maka mempertahankan predikat taqwa juga ditandai kesempurnaan
ibadah kita.
Setelah Allah menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa”. Dilanjutkan, “(yaitu)
dalam beberapa hari yang tertentu…”. (QS. Al-Baqorah : 183-184). Artinya waktu yang terbatas. Setahun
bulan terdiri dua belas, kita hanya diwajibkan
puasa sebulannya.
Zakat yang dikeluarkan tidak musti setiap bulan, hanya sekali setahun.
Kewajiban Haji hanyalah sekali seumur hidup, itupun kalau mampu. Begitupula shalat, kita hanya
diwajibkan lima kali sehari semalam tidak juga 24 jam.
Kewajiban itu memang hanyalah sedikit diminta dari semua
waktu kita. Ibadah khusus(mahdoh) tidaklah banyak. Hari-hari yang berbilang.
Maka hidup yang berbilang ini-pun benar-benar harus dimanfatkan dengan baik. Maka menjadi pribadi
taqwa setelah Ramadhan adalah menjadikan
seluruh hidup itu ibadah. Nah, bagaimana seluruh hidup bisa bernilai ibadah, sementara waktu-waktu ibadah khusus itu hanya terbatas.
Ibarat kereta, lokomotif
itulah ibadah khusus (mahdoh). Dan ibadah umumlah gerbong-gerbongnya. Lokomotif
ukurannya lebih pendek dari pada gerbong. Ibadah khusus itu terbatas waktunya.
Tetapi bagaimanapun panjangnya gerbong, kalau lokomotifnya tidak beres, maka tidak
juga efektif keretanya. Ibadah khusus kita harus lebih diperhatikan. Bagaimanapun
juga bagusnya lokomotif dan gerbongnya, rel kereta juga penentu sampai ke
tujuannya. Dua rel itu, ikhlas dan sesuai
contoh Nabi.
Seperti Shalat. Jika sebelumnya masih ada sering ditunda-tunda atau
bolong-bolong. Maka setelah Ramadhan ini harus ada yang berubah. Karena
meninggalkan shalat bisa dikategorikan sebagai orang kafir. Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya (pembeda) antara seseorang dengan kekufuran
dan kesyirikan adalah
meninggalkan shalat”(HR.Muslim). Atau coba kita simak, “Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.
Bayangkan! Sedangkan mahluk sekaliber Iblis disuruh sujud
kepada mahluk seperti Adam menolak karena sombong,
langsung divonis sebagai golongan kafir. Bagaimana lagi, kalau ada
manusia(mahkluk) disuruh sujud (shalat) bukan
kepada sesama mahkluk, tetapi Yang menciptakan makhluk? Lalu
enggan, tentu lebih dari sekedar
kafir!
Maka shalat itu sudah harga mati seorang muslim. Kualaitas kuantitasnya selalu kita jaga. Untuk menghadap
atasan saja kita perlu persiapan matang, berpakaian rapi
dan malu datang terlambat. Bagaimana
lagi kalau hendak menemui Penciptanya atasan kita. Untuk memberikan
penghormatan kepada Komandan harus lebih tenang tidak buru-buru. Karena terlalu
cepat menurunkan hormat sebelum Komandan bertanda kurangnya
rasa memuliakan. Maka bagaimana lagi
kalau kita rukuk dan sujud kepada Sang Pencipta. Tentu harus lebih khusyuk lagi.
Lalu bagaimana perubahan itu dimulai?
Berikut kisah seorang Masyaikh, ketika anaknya hendak dilamar pemuda. Si pemuda
tak punya kelebihan kecuali ia anak orang kaya. Syaikh tahu shalatnya masih
bolong-bolong. Maka ia-pun memberikan syarat, “Shalat berjama’ah di mesjid
selama 40 hari berturut-turut”. Kenapa demikian? Shalat berjama’ah bagi laki-laki
hukumnya wajib bahkan orang buta sekalipun. Dan, “Barangsiapa yang shalat karena
Allah selama 40 hari secara berjama’ah dengan mendapatkan takbiratul
pertama(takbiratul ihramnya imam), maka ditulis
untuknya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari api neraka dan sifat kemunafikan”(HR.
Tirmidzi).
Karena
hasrat menikah begitu tinggi, pemuda tadi menerima saja apapun itu syaratnya.
Dimulailah uji coba, kebetulan mereka masih dalam satu kompleks maka
pengontrolan bagi syekh tidaklah sulit. Pekan pertama si pemuda tadi sudah
mulai rajin ke mesjid. Pekan kedua ia datang lebih awal bahkan shaf terdepan.
Pekan ketiga justru dialah yang azan. Hingga akhirnya, tibalah masa penantian
itu. Hari ke-40 tepat. Syaikh sudah menunggu di rumah kedatangannya.
Apa
yang terjadi? Justru ia tak kunjung datang juga. Maka dicarilah hingga
ditemukan di mesjid. Selesai shalat Syaikh mendekat, bagaimana kabar
keadaannya. Tetapi dari pembicaraan itu tak satupun kata yang menyangkut niat
melamar pemuda tadi. Maka Beliau-pun mengingatkan, “Kalau tidak salah Ananda
pernah mau melamar anak saya?”. Si anak muda kaget, “Astagfirullah, afwan saya
baru ingat, iya Syaikh!!!”
Subahanallah!
Hanya karena lezatnya beribadah sampai seseorang bisa lupa akan dunia. Niat
awal shalat berjama’ah Cuma untuk menikah bisa berubah hanya karena manisnya
bertaqarrub kepada Allah. Sebenarnya untuk bisa taat konsisten beribadah
dimulai dari pembiasaan diri kita. Anak yang tumbuh dalam ketaaan akan
senantiasa dibawa hingga dewasa.
Orang
yang sudah terbiasa, dengan mudahnya beribadah maka akan begitu sulit untuk
sekedar meninggalkan. begitupula orang yang mudahnya melakukan kemaksiatan akan
merasa berat meniggalkan kebiasaan buruknya. Jadi semua berawal dari pembiasaan
diri kita.
Mulailah
membiasakan diri untuk melakukan ketaatan dan hal-hal yang bermanfaat. Jika di
bulan Ramadhan anda sudah terbiasa shalat malam. Maka setelahnya-pun masih
terbuka peluang lebar. Membiasakan puasa sebulan penuh, diluar Ramadhan anda
masih bisa menyambung dengan puasa syawal enam hari.”Barangsiapa yang
berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan puasa enam hari di
bulan Syawal. Maka pahalanya seperti ia berpuasa setahun”. (HR. Muslim).
Dan disana masih ada puasa sunnah senin-kamis dan lainnya.
Rasulullah pernah mengaminkan
Malaikat Jibril tiga kali. Salah satunya, kecelakaan orang yang mendapati bulan
Ramadhan, berlalu namun dosanya tidak juga diampunkan. Maka sebagai tindak
lanjut, salah satu indikasi terampuninya dosa kita. Mudahnya kita menjalankan
ketaatan. Setelah Ramadhan ini, setidaknya ketaaan amal ibadah kita ada yang
berubah. Dari yang kurang baik menjadi baik. Yang baik menjadi lebih baik.
Karena orang yang ikhlas
itu bukanlah yang bisa beramal banyak, tetapi yang konsisten pada ketaatannya.
Biar-pun sedikit namun berkelanjutan lebih dicintai dari pada banyak tetapi
tidak kontinyu. Jadilah hamba Rabbanii bukan Ramadhanii. Hamba yang menyembah
Allah tidak saja di saat Ramadhan tiba. Padahal Allah juga yang kita sembah
diluar Ramadhan.
Karena, “Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan
mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan
bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah
kepadamu’"(QS al-Fushshilat:30).
semoga segala kebaikan yang kita lakukan selama Ramadhan bisa berlanjut hingga akhir kehidupan :)
BalasHapusIblis aja yang nggak mau sujud pada adam langsung di cap kafir. Apalagi manusia yang nggak mau bersujud pada sang penciptanya. Lebih dari kafir.
BalasHapusBetul banget itu kang.
begitulah ketaqwaan tidak boleh pudar oleh waktu dan zaman...
BalasHapus