Rasululllah `
telah menjawab, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian,
seperti halnya orang-orang menyerbu makanan di atas nampan”. Sahabat
bertanya, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau melanjutkan,
“Bahkan kalian waktu itu banyak, tetapi kalian seperti buih di atas air. Dan
Allah mencabut rasa takut musuh-musuh terhadap kalian serta menjangkitkan pada
hati kalian penyakit wahn”. Mereka lalu bertanya, “Apakah wahn itu ya
Rasulullah?” “Cinta dunia dan takut mati”. (HR. Ahmad).
Inilah akar permasalahan penyakit umat yang mesti diobati. Jundab bin Abdullah z
mengatakan, “Mencintai dunia adalah pangkal segala kesalahan”. Ketika terpesona oleh kemegahan dunia.
Orang-orang kafir justru akan bertepuk tangan melihat umat Islam berlomba-lomba
mengejar dunia. “Suatu hal yang paling saya takutkan menimpa kalian
sepeninggalku adalah jika gemerlap duniawi dihamparkan untuk kalian." (Muttafaqun
’alaihi).
Ketika, “Surga itu dikelilingi
dengan hal-hal yang tidak disukai dan neraka itu dikelilingi hal-hal berbagai
macam syahwat.” (HR. Bukhari Muslim), maka yang haram bisa saja dibenarkan
oleh hawa nafsu.
Dunia memang manis menawan, disuguhi
berbagai kenikmatan dan syahwat. Apalagi godaan harta dan wanita. Rasulullah `
bersabda, “Sesungguhnya dunia itu manis menawan. Dan sesungguhnya Allah
memberikan penguasaanya kepada kamu sekalian, kemudian Dia melihat apa yang
kamu kerjakan. Maka berhati-hatilah kamu terhadap (godaan) dunia dan wanita.
Karena sesungguhnya sumber bencana Bani Israil adalah wanita” (HR. Muslim).
Nilai
Sebuah Dunia
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib z
pernah didatangi seorang yang memuji dunia maka ia mengatakan, “Dunia terus
membelakangi kita, sementara akhirat terus menghadapi kita. Dan keduanya
mempunyai anak-anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan jangan mau
menjadi anak-anak dunia. Sesungguhnya hari ini hanyalah amal dan tak ada
perhitungan, sementara esok yang ada hanyalah perhitungan dan tak ada lagi kesempatan beramal."
Manusia yang mengejar dunia ibarat
sedang memperebutkan bangkai. Begitulah penggambaran Rasululah `
ketika menemukan bangkai lalu bertanya pada sahabatnya, “Mengapa bangkai ini
dibiarkan saja oleh pemiliknya?” Jawab sahabat, “Oleh karena bangkai itu
tak berharga lagi bagi pemiliknya”. Maka Nabi `
bersabda, “Demi Allah yang menguasai diriku, dunia itu lebih rendah dalam
pandangan Allah daripada bangkai kambing dalam pandangan pemiliknya. Beliau juga pernah mengatakan,
“Kalaulah dunia di sisi Allah senilai dengan sehelai sayap nyamuk, niscaya
Allah tak akan memberi minuman orang kafir meski hanya seteguk daripadanya
." (HR. Tirmidzi).
Ibnul Qoyyim juga mengatakan, “Dunia
bagaikan wanita pelacur yang tidak pernah menetap dengan satu laki-laki, ia
meminta dipinang laki-laki hanya agar mereka meladeninya dan ia tidak puas
selain dengan laki-laki asusila”. Orang yang sudah memiliki satu gunung emas
tidak akan pernah puas sampai ingin menambahnya lagi.
Lanjut kata beliau, “Dunia itu tak
sebanding dengan langkah kakimu untuk menjemputnya, namun mengapa engkau
malahan menjemputnya dengan berlari?” Tidak perlu tergesa-gesa apalagi
mengejar dunia belaka. Karena dunia juga ikut sendirinya di saat kita mengejar
akhirat. Ibarat menanam padi (akhirat) dan rumput (dunia). Menanam rumput
jangan mengharap tumbuh padi. Menanam padi rumput pun akan tumbuh sendiri.
Dunia yang awalnya adalah kepayahan,
akhirnya kemusnahan, yang halal akan ada hisabnya sedang yang haram ada
hukumannya, siapa yang memburunya akan memperoleh godaan. Dan siapa yang
memerlukannya akan memperoleh kesedihan, begitulah Ali bin Abi Thalib
radiallahu ‘anhu mengilustrasikan dunia. Sebagian ahli zuhud juga berpesan,
“Tinggalkanlah dunia untuk pemuja-pemujinya, sebagaimana mereka tinggalkan
akhirat untuk pemiliknya”.
Seorang penyair mengibaratkan dunia, “Itu
hanyalah mimpi tidur atau bagaikan naungan yang akan musnah. Orang cerdas tak
bakalan tertipu terhadap yang semisal. Dunia hanyalah sesaat, maka jadikanlah
ketaatan. Sedang jiwa berkecenderungan rakus, maka biasakanlah puas terhadap
kesederhanaan ”.
Di kesempatan lain, Ali bin Abi Thalib
z juga pernah didatangi seseorang. Kali
ini justru mencela dunia maka beliau mengatakan, “Dunia adalah tempat kebenaran bagi yang
jujur dengannya. Tempat kesuksesan bagi yang faham tentangnya. Tempat kekayaan
bagi yang berbekal dengannya. Tempat turunnya wahyu Allah. Tempat shalatnya
para malaikat. Tempat sujudnya para nabi. Tempat berdagangnya para wali-wali Allah. Beruntunglah di dalamnya yang
mendapatkan rahmat-Nya. Dan juga mendapatkan surga-Nya”.
Dunia tempat kebenaran bagi orang yang
memahaminya. “Dan kehidupan dunia ini hanyalah sendau gurau dan permainan.
Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya
mereka mengetahui” (QS. al-Ankabut:
64). Jika dunia adalah tempat mengumpulkan kekayaan, maka tidak ada kekayaan
(perbekalan) yang lebih baik daripada taqwa. “Berbekallah, karena
sebaik-baik bekal adalah taqwa (QS. al-Baqarah: 197)”.
Dan dunia adalah sebaik-baik tempat
berdagang mengumpulkan keuntungan sebanyak mungkin, “Wahai orang-orang yang beriman! Maukah
kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari
azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad
di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.” (QS. as-Shaff: 10-11).
Ibnu Mas’ud z
menasihatkan, “Siapa yang
menginginkan akhirat, maka ia akan mencederai dunianya. Sebaliknya siapa yang
menginginkan dunia ia akan mencederai akhiratnya. Wahai kaumku maka cederailah
yang fana untuk peroleh yang kekal”.
Kita meletakkan dunia di tangan dan
akhirat di hati. Suatu saat jika harus diambil, maka tangan akan mudah
melepaskan dunia. Karena, “Siapa yang
jiwanya mulia, maka dunia baginya terasa sepele (remeh temeh)” seperti kata
Ibnu Hanafiyah. Allah U
berpesan, “Wahai manusia, janji Allah adalah benar, maka janganlah
sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu dan jangan (pula) penipu (setan)
memperdayakan kamu dalam (menaati) Allah (QS. Luqman: 33).
Tentu kehidupan dunia ini hanyalah
tempat persinggahan, “Permisalan dunia tiada lain sebagaimana seorang yang
bernaung di bawah pohon, kemudian ia beristirahat lalu meninggalkannya (HR.
Tirmidzi)”. Tidak ada waktu untuk berlama-lama apalagi terpedaya dengan
dunia. Seorang musafir jika melihat suatu pohon di hari yang panas, tak relevan
jika ia membangun rumah di bawahnya kecuali sekedar keperluannya saja.
Isa bin Maryam menasihatkan, “Siapa
yang sudi membangun negeri di atas gelombang laut? Itulah dunia. Maka jangan
engkau jadikan sebagai hunian”. Begitupula, “Seberangilah dunia, jangan engkau
dirikan bangunan padanya” (Musa). Karena, “Semua yang ada di bumi itu akan
binasa” (QS. ar-Rahman : 26).&selengkapnya...http://www.stibamks.net/2012/05/dunia-di-mata-mereka.html
subhanallah sungguh luas yah maknanya dunia ini..
BalasHapusterima kasih mas atas pencerahannya..
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKarena semua yang ada di bumi itu akan binasa
BalasHapusyup.. dunia hanyalah tempat persinggahan
BalasHapus