Tidak mudah
untuk memahami dua hal yang antagonis; cinta dan benci. Dua kata yang
berlawanan seringkali membuat seseorang ...
khawatir, cemas atau menghindari. Salah satu Surah yang Allah turunkan guna meneguhkan hati, memantapkan iman Rasulullah adalah Surah Yusuf. Sepenggal kisah terbaik yang diceritakan al-Qur’an. Kisah Nabi Yusuf diawali perpisahan kemudian berakhir dengan pertemuan hati.
Kisah yang
sejalan kemudian alur ceritanya terbagi dua. Nabi Ya’kub menjalani kehidupan
bersama dengan anak-anaknya. Dan Nabi Yusuf menjalani kisahnya keluar sumur
masuk istana.
Allah
membagi karunia yang berbeda pada setiap hambaNya. Allah pula memilih siapa yang dikehendakiNya. “Dan
demikianlah Rabbmu, memilih kamu dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian
dari tabir mimpi-mimpi” (QS. Yusuf: 6). Kecemburuan saudara-saudara Nabi
Yusuf. Hal ini tentu tidak bisa dihindari, sebab karunia yang dimiliki Nabi
Yusuf adalah pemberian Allah Azza wa Jalla. Bukan atas kehendak Nabi Yusuf
sendiri.
Kisah ini
menarik, konflik yang bisa saja terjadi di dalam keluarga Nabi. Nabi Ya’kub
lebih menyayangi Nabi Yusuf daripada saudara-saudaranya yang lain. "Sesungguhnya
Yusuf dan saudara kandungnya lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita
sendiri, padahal kita adalah satu golongan. Sesungguhnya ayah kita adalah dalam
kekeliruan yang nyata” (Yusuf: 80).
Membagi
cinta secara adil adalah sebuah keniscayaan. Yang nampak ataupun tidak. Jika
saja kecemburuan sifatnya emosional bisa menjadi pemicu konflik, bagaimana lagi
yang berhubungan dengan materi. Lalu bagaimana dengan keadilan yang tidak
berjodoh dengan atasannya.
Cemburu itu
hanya membuat orang susah. Kecemburuan yang tega mengggelar rencana makar. Tetapi
Allah Azza wa Jalla punya rencana lain. Perpisahan karena konflik adalah hal
yang alami. Perpisahan dari kedua belah pihak ini adalah perpisahan yang saling
menumbuhkan. Eksistensi Nabi Yusuf tidak memungkinkan lagi tumbuh di tengah
konflik kecemburuan saudaranya. Bagi saudaranya, kepergian Yusuf juga
diperlukan agar mereka bisa tenteram dalam keluarga.
Penyebab
timbulnya konflik bukan diawali perbedaan pendapat. Konflik batin. Seringkali
kita berbeda bukan sebab pikiran, hati kita yang bebeda. Kita akan sangat
kesulitan menyamakan persepsi sebelum pertamakali berpadu hati.
Itulah
sebabnya pula, perdamaian Nabi Yusuf dengan saudaranya di akhir kisah ini
adalah sebuah pertemuan hati. Semuanya telah dimaafkan. Nabi Yusuf berkata, "Pada
hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni, dan Dia
adalah Maha Penyayang diantara para penyayang" (Yusuf: 92).
Tidak ada
dendam. Nabi Yusuf telah mendamaikan segala masa lalu yang telah terjadi.
Seorang pemenang dan bijak adalah mereka yang tidak membalas dendam padahal
mereka sanggup melakukan itu. Mereka berhasil mengalahkan egoisme diri.
Banyak perdamaian
yang retak sebab orang lebih sibuk memendam prasangka. Sibuk mengunkit masa
lalu yang jawabannya ada hari ini. Nabi Yusuf mungkin sangat sedih, tetapi
tidak meratap. Menerima perdamaian dengan lapang dada. Sekalipun itu luka
sedalam cinta.
Nabi Yusuf
menjalani sendiri kisah hidupnya. Berawal dari mimpi kemudian menjadi
kenyataan. Keluar sumur, masuk istana hingga menjadi petinggi negara. Memang,
mengharapkan sesuatu tanpa melakukan apa-apa adalah mimpi. Tetapi melakukan
sesuatu tanpa visi justru menjadi mimpi buruk.
Untuk sampai
ke kerajaan sebagaimana mimpinya, butuh waktu. Disebutkan dalam sejarah bahwa
jarak antara perpisahan Nabi Yusuf dengan keluarga dan saat bertemu kembali
setelah menjadi petinggi negara adalah 40 tahun. Sebagian ahli tafsir
menyebutkan 80 tahun. Rentan waktu yang cukup lama.
Dari kisah
Nabi Yusuf ini kita belajar dua kesabaran. Kesabaran yang ijbari. Ketika
Nabi Yusuf dimasukkan ke dalam sumur. Pilihannya tidak ada kecuali
bersabar. Kesabaran ikhtiyari.
Kesabaran ketika digoda oleh wanita. Kesabaran untuk tidak mengikuti kehendak istri al-Aziz atau
dimasukkan ke dalam penjara. Kesabaran ini tingkatannya lebih tinggi dari yang
pertama. Kita mungkin akan sangat bisa bersabar pada saat terdesak. Namun
jarang yang bisa bersabar pada pilihan pertama.
Bahwa untuk
menjalani semua itu dibutuhkan kesabaran. Menjalani banyak rintangan, cobaan
adalah lompatan menuju kemenangan besar. Bahwa keberhasilan yang besar itu
adalah akumulasi dari pencapaian-pencapaian kecil. Kita butuh waktu yang cukup
panjang. Kesabaran yang lebih lama dari waktu yang ditentukan. Perjuangan yang
lebih kuat dari kesabaran.
Sekiranya
Nabi Yusuf tidak dibawa ke sumur, mungkin jalan ceritanya akan berbeda. Bahwa
seringkali dalam kehidupan ini apa yang kita alami tidak dalam kendali kita.
Kita tidak punya kuasa atasnya. Maka keajaiban yang kita dapatkan, petunjuk yang
kita wujudkan bukan mengandalkan atas kemampuan diri kita sendiri. Ketika kita
ridha dan lapang dada dengan segala rahmatNya.
“Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu mawaddah (rasa kasih) dan
rahmah” (QS. Ar-Ruum 31).
Kenapa dalam ayat ini tidak digunakan kata mawaddah
wa ‘mahabbah’(cinta), melainkan dengan kata ‘rahmah’?
Makna rahmat
itu sangat luas, sedangkan cinta adalah bagian dari rahmat. Cinta akan
berkurang oleh masa, kekang oleh waktu. Sedangkan rahmat akan selalu ada
di segala musim. Mencintai akan dibatasi oleh kata ‘sejati’. Adakalanya cinta
itu palsu, pencitraan.
Sedangkan rahmat
tidak pernah disandingkan dengan kata ‘sejati’. Sebab rahmat adalah
anugrah yang murni, tanpa basa-basi. Rahmat adalah kasih sayang
dan rasa saling melindungi tanpa henti. Sehingga Allah menggandengkan mawaddah
dengan rahmat.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus