Islam
adalah metode, manhaj, tuntunan hidup. Yang mengatur hubungan manusia dengan
Rabbnya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Karena begitu luas aspek cakupan
segala sendi kehidupan manusia, para ulama kemudian membagi ajaran islam ke
dalam beberapa bidang seperti akidah, ibadah dan muamalah. Semuanya termaktub
dalam sumber utama hukum islam, Alquran dan al-Sunnah.
Tatkala Nabi akan mengutus Mu’aż bin
Jabal (w. 18 H/629 M) ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim seraya bertanya
kepadanya, “Apa yang akan kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara
yang harus diputuskan?, Mu’aż menjawab: “Aku akan memutuskannya
berdasarkan ketentuan yang termaktub di dalam Kitab Allah (Alquran)“ Nabi
bertanya lagi, “Bagaimana jika di dalam Kitab Allah tidak terdapat ketentuan
tersebut?” Mu’aż menjawab, “Dengan
berdasarkan Sunnah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam,”
Nabi bertanya lagi: “Bagaimana jika ketentuan tersebut tidak terdapat
pula di dalam Sunnah Rasulullah” Mu’aż menjawab “Aku akan berijtihād dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan
suatu perkara pun tanpa putusan, lalu Mu’aż mengatakan: “Rasulullah
kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufiq kepada utusanku untuk hal yang melegakan”.
Berdasarkan ḥadits di atas dapat
diambil kesimpulan, bahwa sumber hukum Islam yang utama adalah Alquran dan al-Sunnah.
Jika tidak terdapat pada keduanya ketentuan hukum sesuatu, maka diusahakan
hukumnya melalui ijtihād. Oleh karena itu dalam sejarah perkembangan hukum dan
pemikiran Islam menghendaki adanya ijtihād.
Sepeninggal Rasulullah, banyak terjadi berbagai peristiwa yang dahulunya
belum pernah terjadi. Maka untuk menetapkan hukum terhadap peristiwa yang baru
itu para sahabat berijtihād. Dalam ijtihād ini terdapat kesepakatan dan tidak jarang pula terjadi perbedaan
pendapat. Para sahabat tidak menetapkan hukum suatu peristiwa kecuali jika
memang sudah terjadi.
Pada abad kedua dan ketiga hijriyyah pada masa tabi’in, tabi’ tabi’in dan
imam-imam mażhab kemudian muncul banyak kasus baru yang belum pernah terjadi di masa
sebelumnya. Maka para ulama kemudian berijtihād mencari dan
menyelesaikan berbagai permasalahan hukum. Sehingga sumber hukum fikih tidak
hanya Alquran maupun al-Sunnah, tetapi juga dengan ijma’, qiyās dan istiḥsān.
Perhatian
ulama terhadap ijtihad sangatlah besar hingga kemudian menjadi mażhab. Dan masing-masing memiliki metode ijtihad tersendiri berbeda
dengan yang lain. Kelompok ahli Irak yang biasa disebut dengan ahlul ra’yi
dan kelompok ahli Hijāz yang dikenal dengan ahli ḥadiṡ.
Ahl Irak dikatakan lebih banyak menggunakan akal manakala ahl Hijāz menggunakan
ḥadiṡ-ḥadiṡ Rasul. Imām Syāfi’ī sempat mengenyam pendidikan, baik belajar pada ahlul ra’yi
maupun ahli ḥadiṡ. Ini membuktikan bahwa tidak ada konflik antara wahyu dan akal.
Sebagaimana wahyu, dalam hal ini termasuk ḥadiṡ, merupakan sumber otoritatif
dalam hukum islam. Demikian juga halnya dengan akal; keduanya tidak
bertentangan; sebaliknya saling mendukung.
Pemikiran
islam tidak mengenal dikotomis rigid antara literalis ala fundamentalis Kristen
di Barat. Juga tidak mengakui rasionalis murni seperti yang dikembangkan
Descartes. Sebagaimana juga tidak mengenal aliran empicirilism model Logical
Positivism. Oleh sebab itu pula pemikiran islam tidak mengenal pemisahan
objektif dan subjektif, sebagaimana ia
juga tidak mengakui dikotomi deduktif-induktif tekstual-kontekstual, dan
historis-normatif.[1]
Imām
Abu Ḥanīfah bukan seorang liberal, dalam arti yang populer digunakan sekarang
ini, yaitu orang yang mengedepankan akal atas teks Alquran dan Sunnah. Demikian
juga Imām Mālik, bukan literalis yang anti rasio. Baik Abu Ḥanīfah maupun Imām
Mālik, keduanya melatakkan nash Alquran dan Sunnah Nabi pada posisi
tertinggi dalam hierarkis sumber ilmu dan hukum islam.[2]
Ahl Irak banyak menggunakan akal karena kesulitan mengakses
Sunnah Rasul disebabkan letak geografis tempat mereka jauh dari pusat khazanah Islam,
Mekkah dan Madinah. Persoalan politik yang telah menyebabkan berkembangnya ḥadiṡ-ḥadiṡ
palsu juga sebab penting perlu dipertimbangkan.
Para
fuqahā’ Irak sangat berhati-hati dalam menggunakan ḥadiṡ, karena mereka
khawatir menggunakan ḥadiṡ palsu. Sehingga ketika mereka mencari suatu
permasalahan hukum yang tidak ditemukan dalam Alquran, al-Sunnah, pendapat
sahabat, dan ijma’, mereka lebih memilih menggunakan analogi. Keadaan ini tentu
saja berbeda dengan Hijāz (Madinah dan Makkah). Di kota yang masih banyak
dihuni oleh sahabat dan tabi’in ini, sungguh sangat mudah sekali diakses.
Sehingga apabila timbul sesuatu masalah, mereka mudah merujuknya ke sunnah Rasul.
be continued
0 komentar:
Posting Komentar